Meskipun sudah benar memilih teman tetap saja masih ada yang mengecewakan.
***
Hanya ada semburat garis lengkung di sisi bibir perempuan itu. Ia hanya mengingat bagaimana suaminya meluangkan waktu untuk orang yang sudah tidak ada di dunia in dibandingkan memilih menjemputnya siang ini di Kampus. Sekitar tiga puluh menitan Ia menunggu. (Namakamu) tetap memilih diam di kursi taman saat melihat mobil hitam milik Iqbaal memasuki area parkir. Ia tak beranjak Ia hanya memperhatikan bagaimana Iqbaal menemukannya.
Namun Ia alihkan pandangannya menatap sederet pesan singkat yang dikirimkan Dianty, itu adalah undangan mendadak. Bahwa Dianty sahabatnya akan melaksanakan resepsi pernikahan malam ini. Tapi yang membuatnya terpukul adalah menerima kenyataan bahwa sahabatnya menikah karena hamil duluan, sulit untuknya di percaya.
"Punya pacar gue gak tahu, lamaran, akad dan gue baru tahu kalo malam ini Dianty resepsi. Sebegitu lamakah gue gak megang ponsel?"
"(Namakamu), kamu disini?" Ujar Iqbaal tepat berada di hadapannya.
(Namakamu) mendongak lalu mengangguk. "Hm."
"Aku telat jemput kayaknya," tebak Iqbaal lalu duduk di sebelahnya. "Tadi ke kantor sebentar ada meeting. Jadi harus selesaiin itu dulu. Udah makan?"
"Alvaro dan Arvin di jemput siapa?" (Namakamu) mengalihkan pembicaraan.
"Aku minta sopir," jawabnya. "Kamu udah makan?" Ulang Iqbaal.
(Namakamu) menoleh. "Udah." Namun matanya kembali fokus ke arah ponsel. "Gimana ziarahnya?" Tanyanya tanpa menoleh.
"Ya. Tadi aku sempet ke makamnya Zidny tadi bawa bunga. Cuma sebentar langsung ke kantor karena ada meeting."
"Oh sibuk banget. Harusnya gak usah jemput karena aku bisa pulang sendiri. Lebih baik ke Zidny aja mantan kamu yang lebih butuh sama kamu! Emang renovasi batu nisannya udah selesai?"
Iqbaal terkejut atas itu. Istrinya mengetahui soal Ia hari ini merenovasi kuburan Zidny. Tapi bagaimana (Namakamu) mengetahui soal itu?
"Kaget ya? Kenapa aku bisa tahu soal itu. Tapi jadi aneh karena ternyata aku bisa lebih tahu soal itu dari mulut tukang batu daripada mulut kamu sendiri." (Namakamu) menatap Iqbaal tak menyangka. "Kalo kamu nikah cuma untuk menghilangkan kesepian. Club, Mall? Masih banyak tempat rame dan cewek sampah di luaran sana yang mau nemenin kamu. Kenapa harus milih aku yang sama sekali gak kenal sama kamu?"
"(Namakamu)?" Iqbaal mencoba tenang. "Maaf aku salah. Aku udah bohong soal itu! Ya, tadi pagi emang benerin kuburan mantan aku karena kata penjaganya ada beberapa kerusakan! Aku bohong karena takut kamu marah."
"Ngapain gue marah?!" Kali ini suaranya lebih tinggi.
Iqbaal menatap wajah istrinya dalam. Kalau sudah mengganti kosa katanya, istrinya benar-benar marah. Ia maklum soal itu. "Ya sudah gimana kalo kita pulang. Kita selesain semuanya pelan-pelan. Atau kamu mau kemana mungkin?"
(Namakamu) bangkit membuat Iqbaal mengikuti gerakannya. "Emang semudah itu bikin gue jadi takluk lagi sama lo, hah?! Lo bikin kesalahan tapi lo ngerayu gue dengan cara sampah lo ini!"
"Maksud aku bukan gitu, (Namakamu). Kita bisa bicarain semua di tempat yang lain jangan di Kampus deh. Takut ada yang denger dan nyebar."
"Sebenernya lo punya perasaan gak sih ke gue? Dengan kaya gini gue bisa lihat apa sebenarnya mau lo sama gue! Sekarang bilang ke gue berapa hutang nyokap sama bokap gue kenapa gue harus nikah sama lo!"
Iqbaal kali ini tak bisa membujuk kemarahan istrinya. Semakin Ia jawab, yang keluar dari mulut (Namakamu) semakin tak terkontrol. Ia menarik punggung istrinya, membawanya ke dalam dekapan. Iqbaal tak perduli ini Kampus atau bukan. Yang jelas Ia ingin menenangkan istrinya itu.