.
.Berdiri di bibir pantai, Loui Anatha seolah sibuk pada dunianya sendiri. Satu yang ia pandangi, dan itu berupa ujung garis pantai yang ia tak pernah ia ketahui dimana letaknya. Mengapa, di tempat-tempat seperti ini, Loui malah lebih suka menghabiskan waktunya seorang diri. Sang Dwi netra beradu pada indahnya kicauan burung menari-nari bersama awan, atau hembusan angin yang menerbangkan rambut hitam legamnya, dan juga gulungan ombak pantai seakan menyapu setiap tulisan di atas pasir.
Loui teringat kenangan dulu, kenangan ketika kecil. Waktu itu, katanya, sang Mama pernah mengajak Loui menikmati masa-masa berlibur sekeluarga di pantai, entah apa nama pantainya. Loui pernah diceritakan tentang itu lewat secarik surat peninggalan sang mama sebelum beliau kabur entah kemana. Kenangan itu, secara tak kasat mata memang tak pernah Loui rasakan. Tapi, untuk siapapun yang pernah merawatnya ketika kecil. Loui bersyukur, setidaknya, dia pernah memiliki kenangan indah nan membekas mengenai pantai, ombak, juga pasirnya.
"Lo ngapain sendirian?"
Suara itu membuat Loui terkesiap. Harusnya suara ini tak boleh menghampiri Loui di saat ia betulan ingin menikmati momen sendirian selepas pergulatan yang memusingkan semasa belajar teknik menyelam kemarin sore.
Di kala itu, ketika jarum jam mungkin telah menunjukkan pukul sebelas pagi. Seluruh area pantai menyisakan presensi Loui seorang diri. Tak ada siapapun di sana. Sepi, senyap, dan membisu.
Loui menoleh ke samping. Si penanya ialah dia yang sempat membuat Loui tak bisa tidur semalaman.
"Gak ngapa-ngapain," ujar Loui, cuek.
"Sendirian aja?" tanyanya lagi. Mereka masih enggan bertatapan. Sepintas Loui melirik bagaimana gaya berpakaian yang Seungyoun kenakan di tubuhnya. Kaos putih biasa, dilengkapi celana jins robek-robek di bagian lutut serta tak lupa bandana hitam di lingkaran kepalanya.
Ganteng, sih.. Tapi..
"Nath.." panggilnya kemudian. Loui enggan menoleh tak peduli kalau sebenarnya dia lah yang harusnya menegur Seungyoun lebih dulu.
"Anatha.."
"Apasih?"
"Lo ngapain di sini sendirian?" ulangnya lagi. Loui kekeuh tak bergeming. Kenapa sih laki-laki itu harus nanya-nanya segala. Loui sedang badmood, pikiran mengenai bayang-bayang filtrasi masa lalunya membuat Loui enggan bersuara. Sedikitpun.
"Soal yang kemarin.." Seungyoun mulai bicara lagi. Loui menghela napas lelah sembari meniupkan sejumput poninya ke atas. "Plis lah gak usah dibahas lagi. Lo mau gue minta maaf? Enggak kan?! Jelas. Gue gak salah apa-apa soalnya."
Seungyoun terkekeh, "Hati lo keras ternyata." cibirnya pelan. Atas cibiran itu Loui pun rela menorehkan kepala ke samping, menatap Seungyoun sengit. "Gue salah apa emang sama lo? Gue gak ngomongin lo dari belakang. Siapa suruh juga lo dateng ke depan kamar gue, dan siapa suruh juga lo nguping. Lagian.. Di dunia ini, gak ada satupun manusia yang enggak pernah ngomongin orang lain. Harusnya elo dong yang ngerasa gak enak sama gue. Bukan malah gue." cerosos Loui.
Seungyoun hanya menanggapi sambil lalu. Tangannya terulur, menyentuh puncak kepala Loui. Tanpa gadis itu perkirakan, ia harus rela merasakan halusnya telapak tangan Seungyoun yang kala itu berusaha mengacak rambutnya. "Yaudah sih, cukup sampai di sini aja." ucap Seungyoun, bernada lembut namun menyimpan suatu kesan yang abstrak. Dan Loui sulit mengartikan ucapan itu.
"Maksud lo?" Loui tergelak dengan sendirinya. "Cukup sampai di sini aja apaan? Lo kayak baru aja mutusin gue, padahal kita gak pernah pacaran. Hahaha." tawa Loui terasa janggal, terselip sebuah rasa yang aneh, Loui yakin Seungyoun tentu paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMOUR
FanfictionAsumsi berkeliaran tentang Dia. Tapi Loui tak pernah berusaha mencari tau. Karena tak selamanya asumsi menggariskan secara utuh bagaimana dia yang sebenarnya. Dingin tak selalu membekukan, hangat pun tak selalu meneduhkan. Loui hanya ingin tahu sec...