Tiga hari menjelang semester dua, Loui memilih bermalam di rumah Dinda. Menghabiskan sisa hari sabtu bersama teman perempuannya itu sembari mengobrol tentang beragam hal yang tak sempat mereka bicarakan selama tak bersuah sekian bulan. Malam itu harusnya Loui menghabiskannya bersama pacar seperti kebanyakan malam-malam minggu pasangan kekasih biasanya. Tahu sih, momen mingguan itu sebenarnya cuma sekedar memuaskan hasrat, bertemu pacar, kangen-kangenan, deep talk dan kegiatan menye-menye lainnya. Beda cerita jika Itu Loui beserta seribu satu pemikiran problematiknya yang kerap sukar dimengerti. Kendati si lelaki terang-terangan mengajak bertemu, Loui pasti akan cepat-cepat menolak dengan alasan, 'Ngapain sih malam mingguan, malam-malam biasanya juga kita ketemu kok.'
"Loui, itu kacang mete gue jangan lo abisin!" suara Adinda Putri Anlie yang berdiri di dekat kulkas mencuri perhatian Loui dari toples kacang ke arah sumber suara di sekitar area dapur.
Ketika eksistensi Dinda tiba di sebelahnya seraya menenteng gelas berisi jus Buah vita, gadis itu secepat kilat menoyor kepala Loui begitu dia temui setoples kacang metenya habis tak bersisa. "Dibilang jangan diabisin juga." bibir Dinda mencebik.
Loui mendongak, mata bulatnya bergerak gelisah. "Enaaak."
"Enak tapi gak nyisahin gue," kesal Dinda, menjatuhkan pantat ke sofa bersama raut tidak santai.
"Ya makanya. Aturan lo suguhin gue kacang atom aja kek jangan kacang mete. Gue kan paling enggak bisa ngeliat ada cemilan mahal."
"Nyebelin siah maneh teh,"
"Duh," Loui garuk-garuk hidung." ngomong apa lo?"
"Bodo." Dinda beralih menatap layar ponselnya yang berkedip, menampilkan puluhan pesan dari mas pacar. Sedetik berganti menit yang panjang dihabiskan Dinda tanpa menggubris teman di sampingnya lagi.
Bukan perihal kacang mete yang tak sengaja dihabiskan Loui, melainkan memang beginilah kegiatan dua anak perempuan itu jikalau berjumpa; mengobrol hanya sebatas hal perlu-perlu saja, semisal pun tidak perlu mereka berdua lebih suka saling diam dan memunggungi masing-masing.
"Din.." suara rendah Loui berusaha menyapa, sedikit membuat Dinda terlonjak hingga menoleh. "Paan?"
Suasana hening dikediaman Dinda kerap terjadi apabila kedua orang tuanya pergi ke luar kota atas suatu urusan. Tak heran jika sesisi rumah perempuan itu terlihat sepi senyap.
"Gue mau nyeritain cerita horor sama lo. Mau denger gak?"
"Asal jangan cerita kuntilanak beranak dalam kubur, sih, oke lah." sahut Dinda.
Loui mengatur napas sebentar, kemudian beranjak memeluk boneka beruang erat-erat. "Gue.."
Dinda mematikan layar ponsel selepas pesan terakhir dari pacarnya yang hanya dia baca sekilas tanpa balasan.
"Lo kenapa?"
"Ini beneran horor banget lho, Din." Loui menipiskan bibir, menatap wajah manis Dinda dengan guratan mata yang membulat penuh.
"Ih, apaan sih lo." Dinda memelotot sembari memeluk kedua lengannya.
"Gue.."
"Iya?"
"Gue punya pacar."
Dinda menelan ludah, kelopak matanya berkedip cepat. "Elo.. punya pacar?"
Loui mengangguk.
Sedetik setelahnya Dinda tersenyum. Semula hanya senyuman biasa, namun lama kelamaan berganti menjadi tawa yang heboh.
Hahahahahahahhahahahha
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMOUR
Fiksi PenggemarAsumsi berkeliaran tentang Dia. Tapi Loui tak pernah berusaha mencari tau. Karena tak selamanya asumsi menggariskan secara utuh bagaimana dia yang sebenarnya. Dingin tak selalu membekukan, hangat pun tak selalu meneduhkan. Loui hanya ingin tahu sec...