"Ini alamat orang yang order pizzanya. Kamu yang anter, ya?"
Mbak Mita menyodorkan kertas bertuliskan alamat pelanggan, Loui mengambilnya dengan wajah tertekuk sebal. "Mas Sejin kenapa pake sakit segala, sih. Jadi aku kan yang harus nganter." Loui ngedumel, sedang mbak Mita sibuk senyum-senyum sendiri mendengar dumelan rekan kerja sekaligus pegawai paling rajin yang dia perkerjakan itu. "Sabar dek, nanti kan di kasih tips sama pelanggannya. Nah, kamu ambil deh!! Lumayan tuh."
Loui memutar bola matanya, "Ya kalo dapet. Kalau enggak?"
"Positive thinking, deh."
"Ya udah lah, Loui pergi dulu," Ia meraih kunci motor di atas meja serta tumpukan Pizza yang berjumlah empat boks. Mata Loui jatuh pada tumpukan itu dengan kening berkerut. "Siapa sih yang order pizza sebanyak ini, laper atau gimana?"
"Order buat satu keluarga kali." komentar Mbak Mita yang sekarang beralih duduk di kursi pengunjung, mumpung seisi restoran sedang sepi-sepinya.
Loui manggut-manggut mengiakan, lantas ia buru-buru keluar hendak menuju parkiran motor. Loui mengenakan helm kuning bergambar Minion di kepala, meletakkan tumpukan boks pizza ke tempat yang seharusnya tidak jatuh lalu bergegas menghidupkan mesin dan menstarter motor. Meski sebal karena harus menggantikan kerjaan rekannya di restoran pizza itu, Loui tetap pastikan dia harus mengantar makanan ini tepat pada alamat dan orang yang dituju, semacam profesionalitas saja, walau cuma sebatas kurir pengganti.
Tiba di sana, pada alamat yang tertera. Loui menengadah memandangi bangunan megah gedung apartemen di kawasan elit yang berdiri kokoh tepat dihadapannya.
Dejavu
Ingatan Loui akan beberapa minggu ke belakang seolah menyeruak ke permukaan, membuatnya mengerjap lalu tersadar. "Ah, ini mah unit apartemen-nya Seungyoun."
Loui memarkirkan motor Beat-nya di kawasan parkir yang tersedia. Seorang security terlihat menghampiri, barangkali si bapak merasa curiga akan kehadiran perempuan berseragam merah khas restoran cepat saji yang seakan-akan memperlihatkan eksistensi Loui belum cukup pantas menginjakkan kaki di sana.
"Saya cuma anter orderan kok pak, biasanya kali mukanya." cetus Loui dengan berani. Security itu mematut tampang seram yang sayangnya tak sedikitpun membuat Loui takut.
"Yakin cuma anter orderan doang?" tanya si bapak curiga.
"Iya atuh mah, buat apa juga saya nganterin bom, saya kan bukan teroris." jawabnya defensif. Si bapak seketika mupeng dan tak lagi bereaksi berlebihan. "Ya sudah anterin sana."
"Permisi pak." Loui nyengir, berusaha menunjukan gerak-gerik biasa saja.
-
Entah sudah yang ke berapa kali Loui membolak-balik kertas kecil di genggaman tangannya. Namun jawaban yang ia temui selalu sama. Sebuah dugaan menetap di kepala dan Loui seketika meragu melangkah lebih jauh. Lift yang berdenting membawa Loui ke lantai tujuh, degup jantungnya seolah bertalu-talu bak genderang perang.
"Kalau beneran yang pesen pizza ini si Seungyoun. Mampus, deh, gue." Loui membatin, ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, sedikit gugup. Unit apartemen nomor 215 seingat Loui merupakan unit apartemen yang dihuni Seungyoun, tapi semoga bukan dia. Semoga.
Tiba di depan pintu, Loui mendesah berat. "Semoga aja bukan Seungyoun, semoga bukan dia, ameen." Loui tak mengerti mengapa dia memanjatkan doa. Tapi ya sudahlah, biarkan Loui berharap.
Pintu berderak terbuka, Loui menahan napas sebentar. Senyuman selebar lima jari menyembul di sela pintu, Loui mengangkat kepala dari yang semula tertunduk lesu. Jemarinya berkeringat, Loui memegang erat boks pizza di kedua tangannya, pizza ini masih hangat untuk dinikmati. Loui seratus persen yakin pelanggannya tak akan komplain macam-macam.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMOUR
FanfictionAsumsi berkeliaran tentang Dia. Tapi Loui tak pernah berusaha mencari tau. Karena tak selamanya asumsi menggariskan secara utuh bagaimana dia yang sebenarnya. Dingin tak selalu membekukan, hangat pun tak selalu meneduhkan. Loui hanya ingin tahu sec...