"Mel, gue nyontek soal nomor terakhir dong. Satu aja, plis." setengah memohon, Loui melempari tatapan terkasihani ke arah Melinda yang tengah duduk membelakanginya. Kedua anak perempuan itu menjadi satu-satunya yang masih berada di dalam kelas. Mereka berduaan sambil menyibukkan diri dengan sepuluh soal tambahan ujian fisika di akhir semester.
Yang Loui mintai tolong nampak tak mengindahkan suaranya, melainkan, masih sibuk menjawab seluruh soal punya dia sendiri.
"Mel.."
"Bentar cintaku, ini gue lagi benerin jawaban di soal terakhir. Lagian ya, elo kok tumben-tumbenan belum selesai ngerjain soal-soal ini. Biasanya juga selalu jadi orang pertama keluar ruangan."
"Yeu, gue kan tadi gak konsen ngerjain soal ujian. Abis kelas pada grasak-grusuk, sih. Gue jadi pusing."
"Alasan lo anak muda, bilang aja otak lo lagi mikirin si aa' nun jauh di sana, haha."
"Wah.." Loui menendang belakang kursi Melinda spontan. "Jangan sembarangan ngomong ya lo, sambit juga nih."
"Lo marah.. gak gue contekin!" ancam Melinda tanpa berbalik badan.
Loui mendesah panjang, "Pelit lo."
Sekian lama menunggu Melinda akhirnya menoleh ke belakang. Ia menyuguhkan senyuman kecil namun menyimpan kesan jahil tiada tara. "Yang.. Mau nyontek ga?"
"Udah gue kerjain." balas Loui sambil merengut.
"Kalau salah gimana? Katanya lo gak ngerti soal nomor sepuluh."
"Gapapa, gue gak harus dapat nilai sempurna, kok."
"Yakin dapet nilai sembilan puluh?"
"Setidaknya tujuh lima," Loui beroptimis.
"Sekiranya kurang lima poin?"
"Hmm, tujuh puluh juga lumayan." Loui manggut-manggut ria, berusaha berpikiran positif.
"Kalau dikurangi lagi lima poin di suruh ujian susulan, lho, nanti." Melinda menyodorkan kertas jawaban miliknya seraya menyoroti wajah tertekuk Loui masih dengan tersenyum jahil. "Udah lah, gak usah ngambek. Nanti gue traktir seblak satu mangkuk komplit, deh. Mau?"
Loui memandang ke arah luar jendela. "Gak ah, lagi gak kepingin makan makanan pedes."
"Kan bisa pesan yang level satu, enggak pedes dong." sodoran kertas dari tangan Melinda masih belum Loui ambil. Kertas malang tersebut masih menggantung di udara, tak kunjung menemukan pemiliknya.
"Ayolah.. buru di salin jawaban soal terakhir."
"Enggak usah, deh. Ngulang juga gak apa-apa, kok. Gue emang lemah di fisika."
"Utututu, sayangku ngambek. Mianhae deh kalau katanya Jichangwook, hehe."
Loui berdiri dari duduknya. Ia mengamit tas dan menariknya ke bahu. "Gue kumpul dulu kertas jawaban gue ke Yuvin."
Belum satu langkah menjauh, tangan Loui langsung ditarik lembut. "Maaf yaelah. Ngambekan mulu nih! Gue gak akan lagi-lagi nyuekin elo deh. Maapin Isyana ya? Raisa gak boleh ngambekan terus."
Secercah rasa yang menggelitik seolah mengeriyangi perut Loui. Gadis ini susah payah menyamarkan gelak tawa lewat ekspresi dingin yang gagal. "APA SIH LO, NYEBELIN BANGET."
Loui urung berlalu, dia tetap duduk di kursinya dan segera mengambil kertas jawaban dari tangan Melinda. "Ya udah sini gue salin soal terakhir."
Melinda menoyor kepala Loui, "Mau juga kan lo, haha."
Selama Loui sibuk menulis rumus demi rumus di selembar kertas, Melinda pun begitu khidmat menilik ke layar ponselnya. Soal Fisika yang mereka kerjakan hanya sebatas tambahan nilai akhir semester. Dan beruntungnya, assisten dosen yang mewakili dosen spesialis fisika juga bisa diajak berkompromi. Mereka bisa menyelesaikan sepuluh soal tanpa harus di awasi oleh assisten dosen yang bersangkutan. Seisi kelas masih diberi kebebasan menyelesaikan soal sendiri-sendiri, menyontek juga diperbolehkan. Katanya begitu. Atau mungkin assisten dosen tersebut hanya melakukan penjebakan Batman saja. Entahlah, tak ada yang mau repot peduli juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMOUR
FanfictionAsumsi berkeliaran tentang Dia. Tapi Loui tak pernah berusaha mencari tau. Karena tak selamanya asumsi menggariskan secara utuh bagaimana dia yang sebenarnya. Dingin tak selalu membekukan, hangat pun tak selalu meneduhkan. Loui hanya ingin tahu sec...