Tiga Puluh Sembilan

34.2K 1.8K 46
                                    

Ardi melihat jam yang tertera di layar ponselnya, sekarang Ardi berada di salah perusahaan cabang Wijaya Corp yang terletak di Yogyakarta.

Ponsel Ardi menunjukkan pukul dua belas lebih lima belas menit. Ardi menaikkan sudut bibirnya, ia membiarkan Rischa menunggu dirinya untuk kali ini. Kemarin ia sudah menunggu Rischa selama berjam-jam, jadi tidak ada salahnya balas dendam.

"Van, apa Rischa sudah datang?" tanya Ardi pada Ivan yang duduk di sebelah supir pribadinya.

"Gak tau gue, mungkin Rischa udah sampai sekarang."

Ardi mengangguk lalu tersenyum sombong. Orang seperti Rischa memang perlu diberi pelajaran sekali-kali. Walau dia anak dari Pak Hendrawan, bukan berarti Rischa bisa seenaknya sendiri. Pertemuan dengan Ardi bukan pertemuan yang dikategorikan pertemuan biasa.

Kapan lagi Ardi mau bertemu dengan seorang gadis biasa yang hanya memiliki jabatan seorang CEO baru?

Masih dengan perasaan sedikit kesal, catat hanya sedikit, karena Ardi bukan orang yang baperan jadi dia tidak terlalu ambil hati apa yang dilakukan Rischa semalam. Kekesalannya juga membuat Ardi harus membeli sebuah restoran kemarin.

Lamunan Ardi menghilang karena lemparan bolpoin dari Ivan. "Ngelamun terus! Udah sampai ini!" Ivan berucap ketus.

Ardi menaikkan satu alisnya. Ardi adalah Boss disini, tetapi mengapa Ivan yang marah? Dan dengan tidak sopan melempar bolpoin ke arahnya. Kurang ajar!

"Hm."

Ardi turun dari mobil dan memasuki restoran miliknya yang kemarin sudah ia beli. Banyak mata wanita yang melirik Ardi, lalu mereka semua langsung memperbaiki penampilan masing-masing. Dasar cewek genit. Batin Ardi jijik.

Satu pelayan laki-laki menghampiri dirinya dan tersenyum sopan. "Bapak Ardi?" tanya pelayan tersebut.

Ardi mengangguk. "Ya." jawabnya. "Dimana meja yang sudah disiapkan?"

Pelayan itu menuntun Ardi untuk mengikutinya. Ardi masuk ke dalam ruangan khusus yang sudah ia pesan sebelum kedatangannya kemari. Ruangan untuk orang kalangan atas.

Pelayan itu menunjuk meja untuk Ardi lalu pamit untuk undur diri dari hadapan Ardi. Ardi melangkah ke meja yang sudah menjadi tempat pertemuannya dengan Rischa.

Mata Ardi melebar ketika ia tidak mendapati Rischa sedang menunggunya di sana. Ardi mengambil kursi untuk ia duduki, dengan napas naik-turun Ardi dan tangan mengepal ia sudah siap jika akan mengeluarkan ucapan pedas untuk Rischa, jika perlu membuat wanita itu menangis sekalian. Ardi juga tidak masalah.

"Awas saja kamu Rischa!"

Pendengaran Ardi menajam ketika ia mendengar suara ketukan sepatu. Ada yang aneh, ini bukan suara heels. Itu pasti adalah Rischa. Hal pertama yang Ardi simpulkan, Rischa adalah wanita yang tidak profesional. Selain tidak tepat waktu, wanita itu juga tidak bisa berpenampilan dengan benar, itu pasti.

Ardi memutar tubuhnya perlahan, ia sudah sangat siap akan menyembur Rischa dengan cacian dan makian. Membuat wanita itu menangis di depannya untuk meminta maaf karena sudah membuat Ardi menunggu, untuk kemarin dan hari ini.

Ardi berhadapan dengan wanita itu. Matanya melotot dan semua ucapan yang sudah ia siapkan tertelan begitu saja ke dalam tenggorokannya, napas Ardi tercekat. Wanita ini, wanita yang Ardi nantikan selama ini.

Wajahnya bertambah cantik dari sejak terakhir kali Ardi melihatnya. Semua ini terasa seperti tidak nyata untuknya, Ardi melihat sendiri bagaimana wanita itu dikubur, dan ia menangis pada saat itu.

Ardi yakin wanita di depannya ini bukan setan jadi-jadian yang menyamar sebagai wanita yang sangat Ardi cintai, wanita di depannya ini masih memiliki bayangan. Wanita itu juga tertegun melihat ke arahnya.

Possesive Ex [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang