DELAPAN

11K 1.3K 22
                                    

Zaviyar masih mondar-mandir di depan ruang kateterisasi jantung. Wajahnya terlihat cemas. Fara duduk sambil tidak henti berdo'a.

Papa terkena serangan jantung. Beberapa pembuluh darah koronernya tersumbat dan sedang dilakukan pemasangan stent untuk mengatasi sumbatan.

Sesekali Zavi menatap wajah mengantuk Fara yang beberapa kali terlihat terpejam.

Mengapa justru Papanya memilih menelepon gadis ini, ketimbang dirinya. Ah iya, tadi dia memang dalam kondisi marah saat pergi meninggalkan rumah.

"Pak Zavi sudah sholat Isya? Saya ke mushola dulu ya Pak, saya belum sholat Isya."

Fara bertanya pada lelaki itu, dengan sopan.

Jangankan sholat Isya, bahkan Zaviyar sudah lupa apakah dia sudah sholat Maghrib apa belum.

Kali ini dia mengikuti akal sehatnya. Malam ini sudah waktunya dia berdo'a dan berserah diri kepada Sang Pemilik jiwa. Agar Papanya, diberi keselamatan dan bisa kembali sehat.

Beberapa keluarga pasien masih memadati mushola dan membentuk satu shaf untuk sholat berjama'ah.

Suasana mushola rumahsakit yang bersih dengan pendingin ruangan, menambah kekhusyuan saat sholat.

Setelah selesai berdo'a, Zavi sekilas melihat dari balik tirai yang memisahkan jama'ah laki-laki dan perempuan.

Gadis bernama Fara itu tampak tidur memunggunginya. Masih dengan mukena yang dikenakannya. Samar dia mendengar gadis itu mendengkur halus.

Lelaki itu menepuk jidat. Dan wanita ini yang dipilih Papanya untuk menjadi pendamping hidupnya. A Big No...

❤❤❤

Seseorang menepuk punggungnya dengan koran. Lebih tepat memukulnya sampai ia terjaga.

"Bangun Pak, sholat shubuh."

Astaga, gadis ini tidak ada lembut-lembutnya. Fara masih duduk di sebelah Papanya yang masih tidur dan sudah dipindah ke ruang perawatan President Suite.

Papa sempat pengawasan di ruang intensif paska pemasangan stent, ia bersyukur Papa sudah lebih baik dan nyaman di kamarnya sekarang.

Zavi masih mengerjapkan matanya.

"Jam berapa sekarang?"

"Sudah mau jam 5.30 Pak."

"Kok saya baru dibangunkan jam segini?" Zavi berujar kesal.

Fara malah tertawa. Zavi baru menyadari saat gadis itu tersenyum, tampak lesung pipi kecil di wajahnya.

"Sudah dari jam 4 pagi saya setel alarm hp di sebelah Bapak, tapi Bapak masih ngorok."

"Saya nggak pernah ngorok. Kamu kali yang ngorok."

Gadis itu tertawa lagi, semakin membuat Zaviyar kesal karena tawanya lebih seperti mengejek sisi buruk dari dirinya.

Dia memutuskan untuk pulang ke apartemen, setelah sholat Shubuh.

"Saya titip Papa sebentar. Saya mau mandi dulu. Nanti saya akan transfer semua yang kamu butuhkan selama disini. Hanya sampai jam 12 siang. Selanjutnya saya akan mencari perawat pribadi untuk menemani Papa disini."

Fara menghampirinya. Gadis ini terlihat sama kacaunya dengan dirinya. Wajah bangun tidur yang sedikit lebih segar karena gadis ini sudah berwudhu untuk sholat Shubuh. Tapi kain kerudung yang dipakainya terlihat lipatan disana-sini.

"Pak, yang Papa Bapak butuhkan saat ini adalah perhatian dan kehadiran putranya. Itu yang lebih penting saat orangtua kita dalam kondisi sakit. Lagian, saya juga nggak pernah minta imbalan apapun dari Bapak."

"Eh, denger ya. Jangan mentang-mentang kamu orang pertama yang ditelepon Papa saya, terus kamu besar kepala dan merasa istimewa. Kamu tuh bukan siapa-siapa. Dan saya nggak mau punya utang budi sama kamu. Ngerti?"

"Bapak juga denger ya. Bapak minta orang lain untuk sopan dan lemah lembut sama Bapak. Tapi perilaku Bapak malah nunjukin sebaliknya."

Zaviyar mencekal bahu Fara, kemudian melepasnya.

"Saya harap setelah saya pulang dari sini, kamu jangan pernah muncul lagi di hadapan saya. Jelas?!!!"

Fara menatap lekat wajah Zaviyar, tanpa rasa takut sedikit pun.

"Terserah saya, mau datang kesini atau nggak. Apa hak Bapak melarang saya menengok."

Lelaki itu mengambil ponselnya dan memfoto wajah Fara.

"Saya akan meminta security dan perawat untuk tidak memperkenankan kamu masuk, setelah saya pergi."

Farah memandang tidak percaya ada lelaki tampan namun tinggi hati seperti sosok Zaviyar di depannya.

Lelaki itu pergi dan hampir saja membanting pintu, kalau saja Fara tidak menahan agar pintu itu menutup pelan.

Perlahan air matanya menitik. Fara masih duduk di sebelah Pak Zulfikar. Bagaimana pun hatinya masih milik seorang perempuan yang bisa terluka dan sakit.

Lelaki setengah tua yang sedang berbaring dengan layar monitor di sebelahnya, mulai membuka mata.

"Fara, terimakasih ya sudah menemani sejak semalam sampai pagi ini."

Lelaki itu berujar lemah.

"Kamu... menangis Nak? Maafkan kelakuan anak saya."

Fara menggeleng.

"Nggak papa kok Om, ini Fara cuma habis kelilipan sesuatu. Kayaknya ada bulu mata yang masuk. Perih banget."

Gadis itu kemudian ijin ke kamar mandi dan mulai membasuh wajahnya, menghilangkan kesedihannya.

❤❤❤

LOVE NEEDS NO REASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang