*Fara Pov*
Dinginnya logam dari stetoskop yang ditempelkan di permukaan kulitku, membuat kelopak mataku terbuka perlahan.
"Assalaamu'alaikum Fara sayang..."
Wajah ramah dokter Erlin menyapaku. Aku pernah mengenal beliau karena pernah mengikuti simposium tentang kegawatdaruratan penyakit infeksi.
Aku menjawab salam perlahan. Sudah dua hari ini aku sadar penuh dan aku sudah merasa lebih baik.
"Maaf ya Dok, Fara nggak jaga kesehatan. Jadi sakit kayak begini."
Suaraku masih terdengar lemah.
"Dokter juga manusia, Sayang. Masak dokter nggak boleh sakit. Nyamuknya aja yang bandel, gigit kamu sambil bawa virus Demam berdarah."
Dokter Erlin berusaha membuatku tersenyum.
"Malam ini, Insya Allah Fara bisa pindah rawat ke ruang biasa. Alhamdulillah masa kritis sudah lewat. Trombosit hari ini sudah mulai naik."
"Terimakasih Dokter... " aku berkata lirih.
"Kamu istirahat ya. Nanti sampai ruangan, makan dan minum yang banyak. Supaya cepat pulih."
Perempuan berhijab jingga dalam balutan jas dokter berwarna putih itu, kemudian pergi meninggalkanku.
Kepalaku masih terasa berat dan mengantuk. Tubuhku mulai rileks dan sebentar kemudian aku seolah masuk ke alam mimpi.
Sebuah suara yang amat kurindukan, terdengar mendekat. Jemari yang kokoh itu menggenggamku hangat. Kecupan ringan dari bibir yang terasa dingin, singgah di keningku.
Aku ingin menitikkan air mata, berharap ini semua bukan mimpi yang akan segera berakhir. Apakah ia suamiku yang datang untuk menjengukku atau ini hanyalah anganku yang bertepuk sebelah tangan.
Jemari itu menghapus butir bening yang membasahi sudut mataku. Jiwaku seperti tengah berkumpul untuk berjuang membuka mata, namun aku tidak sanggup.
Ya Rabb, biarkanlah saat-saat ini menjadi milikku. Meskipun mungkin ini tidak nyata. Segaris senyum terukir di dalam hatiku yang merindu.
"Bu Dokter Fara, makan malamnya sudah siap."
Suara perawat yang dinas sore, membangunkanku dari tidur yang panjang. Aku menatap ruangan tempat aku berada kini.
Tidak ada lagi bunyi layar monitor dan kabel-kabel yang terpasang di tubuhku.
Tercium wangi pengharum ruangan dengan aroma vanila yang membuatku nyaman. Rasanya seperti bermimpi, siang tadi aku masih berada di ruang intensif. Malam ini aku sudah dapat beristirahat di ruang perawatan biasa.
"Mau dibantu untuk makan malamnya Dok?"
Aku menggeleng. Melihat menu bubur yang tersaji, menerbitkan rasa mual sampai ke tenggorokanku. Kapan aku bisa mulai makan seperti biasa.
Hmm... Aku jadi bisa merasakan penderitaan Mas Zavi, saat harus berhari-hari menelan makanan lunak. Pastinya terasa membosankan.
Perawat berhijab krem yang memperkenalkan namanya Dewi, pamit pergi setelah aku mengatakan akan makan nanti, jika sudah lapar.
Ditinggalkannya kotak obat untuk obat pelindung liver dan vitamin yang masih harus kuminum, setelah makan.
Aku merapikan hijab dan bertayamum untuk menunaikan sholat Isya. Kukenakan mukena yang telah disiapkan perawat tepat di sebelah tempat tidurku.
Usai sholat, aku berdo'a dalam hati. Tidak lupa mengucapkan semesta puji atas segala nikmat yang telah dilimpahkan oleh-Nya.
"Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hambaMu yang bersyukur.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE NEEDS NO REASON
Любовные романы(BELUM REVISI) Di kala takdir hampir berkali-kali mempertemukan mereka, di kala itu pula mereka akhirnya dipertemukan oleh Pemilik semesta. Zavi vs Fara. "Mau tahu alasan gue mau nikahi Lu?" Zavi bertanya dan Fara menanggapi dengan malas. "Kenapa...