*Fara Pov*
Aku mengerjapkan mata perlahan. Zaviyar masih memelukku erat dari balik selimut, setelah semalam kami pulang menjelang pukul duabelas.
Aku bersyukur ia tidak jadi melampiaskan emosi saat mengantarku memeriksa tetangga yang sakit.
Teringat kembali akan kejadian semalam, membuatku banyak tersenyum. Suamiku menunggu di depan rumah bercat biru muda di ujung Jalan Bougenville, sambil berbincang dengan Pak RT.
Bu Renita, tetangga yang baru kuketahui namanya, masih terbaring lemah di kamar tidur. Suaminya, baru berangkat dinas keluar kota kemarin sore. Dia hanya tinggal berdua dengan ART di rumah.
Aku menanyakan apakah nyeri perut yang dikeluhkan, mendadak dan adakah keluhan saat buang air kecil. Bu Renita hanya menggeleng lemah.
Kudapatkan dari pemeriksaan mata, wanita ini tampak pucat dan masih kesakitan memegangi perut di bawah pusar. Apa mungkin perempuan ini hamil di luar kandungan.
"Maaf Bu Reni, terakhir haid kapan ya?"
"Saya sudah telat haid tiga minggu."
Jawabnya pelan."Maaf, apa sebelumnya siklus haid Ibu teratur?"
Dia mengangguk.
"Apa ada keluar flek perdarahan?"
"Sedikit." jawabnya pendek sambil masih memegangi perutnya yang dibalurnya sendiri dengan minyak kayu putih.
Aku melangkah keluar. Kulihat suamiku menyambutku dengan wajah senang. Dia pasti pikir, sudah waktunya kami pulang.
"Gimana Far? Cuma sakit perut biasa kan? Mas tadi sudah bilang ke Pak RT, kamu lagi program hamil, jadi kamu nggak boleh kecapekan.
Kalau nanti ada warga yang sakit, pas kita sudah istirahat. Mas sudah memberitahu Pak RT, untuk langsung bawa ke Rumahsakit."
Aku tersenyum geli melihat ekspresi suamiku. Bisa-bisanya dia kasih alasan seperti itu. Dia pasti kesal setengah mati karena kejadian ini.
"Mas, boleh minta tolong Pak Maman belikan test pack. Aku curiga Bu Reni hamil di luar kandungan. Kalau hasilnya positif, kita harus segera bawa ke rumahsakit. Karena termasuk kegawatdaruratan."
"Sebegitu seriuskah penyakitnya? Jadi bukan ke arah usus buntu?"
Aku menggeleng.
Suamiku menelepon satpam di rumah untuk mencari di apotek terdekat yang buka 24 jam. Limabelas menit kemudian Pak Maman datang dengan membawa apa yang kuminta.
Benar dugaanku. Hasil test urin Bu Reni menunjukkan garis dua. Dugaanku kuat wanita ini hamil di luar kandungan.
"Kita antar ke rumah sakit ya Mas. Kasihan Bu Reni."
Aku mengelus punggung tangan suamiku. Wajahnya menunjukkan sebenarnya ia enggan. Tapi barangkali Yang Diatas berbaikhati menggerakkan hatinya untuk membantu.
Suamiku menghela napas pelan. Tapi sebentar kemudian ia berbisik lembut.
"Oke, ini Mas antar. Tapi habis pulang, janji ya, kita lanjutkan yang tadi tertunda."
Aku mencubit lengannya pelan.
"Dasar Mas Zavi mesum."
"Nggak papa mesum sama istri sendiri ini."
Pak RT dan beberapa tetangga yang juga ikut keluar dari rumah, berinisiatif membawa Bu Reni ke rumahsakit.
Sementara aku dan suamiku menyusul dengan mobil, di belakang. Berulang kali suamiku mencuri ciuman di kening dan pipiku. Aku hanya bisa pasrah. Wajar mungkin karena ia baru bisa menyentuhku setelah sebulan kami menikah.
Setelah sampai di UGD Rumahsakit Medika Raya, Zaviyar masih setia menemaniku masuk ke dalam. Alhamdulillah ada Desi, teman sejawatku, yang sedang bertugas jaga malam.
Setelah menjelaskan mengenai kondisi pasien ke Desi, aku dan suamiku pamit pulang. Sesaat sebelum aku pergi, Desi menarik tanganku.
"Far, itu suami kamu?"
Aku mengangguk.
"Ya ampun Far, ganteng banget. Pantes kata Namira, kamu tiba-tiba ajuin cuti, karena mau honeymoon sama suami.
Kalau aku jadi kamu, resign aja mendingan Far. Jadi istri yang baik di rumah. Suami ganteng kayak gitu, resiko tinggi dilirik banyak cewek kalau servis di rumah nggak memuaskan."
Aku mendesah kecil mendengar nasihat Desi. Aku tahu temanku ini sudah satu tahun lalu berpisah dengan suaminya.
Aku pernah dengar kabar, kalau suami Desi selingkuh. Astaghfirulloh. Kok aku jadi ghibahin orang kayak begini.
"Far, ayo pulang..."
Zaviyar berjalan mendekat dan merangkul bahuku. Ia tersenyum tipis berpamitan dengan temanku.
Dapat kurasakan atmosfir Unit Gawat Darurat berubah karena beberapa pasang mata milik perempuan-perempuan yang sedang dinas malam ini, seolah tidak bisa berpaling dari wajah suamiku.
"Nggak usah cemburu. Mas cuma senyum basa-basi aja kok, ke mereka."
Aku tersipu malu. Malu karena ketahuan aku khawatir dengan sikap suamiku yang mungkin membuat kaum hawa salah paham.
Sesaat setelah mesin mobil menyala, Zaviyar menatapku lekat. Diletakkannya kedua telapak tangannya yang hangat di kedua pipiku.
"Jangan pernah ragu sama Mas. Kamu juga jaga kepercayaan Mas. Maaf mungkin terlambat untuk mengucapkan ini.
I really love you and I will spend the rest of my life, just to be with you."
Kata-kata Mas Zavi terngiang lembut, membuatku yang biasanya hobi bangun siang, kini mudah terjaga menjelang Shubuh.
"Love, did you sleep well?"
Suara bariton dari balik bahuku, berbisik lembut. Aku membalikkan badan dan menyentuh rahangnya yang baru saja dicukur bersih, membuatnya makin tampan saat bangun tidur.
"I love you too, my handsome guy."
"Mmm... "
Suamiku hanya bergumam dan kembali larut dalam tidur sambil mengeratkan pelukannya.
Aku balas memeluk dan bersembunyi di dadanya yang bidang. Air mataku entah kenapa menitik, tanpa bisa kutahan.
Yaa Rabb, jagalah hati kami berdua untuk saling setia dan menyayangi satu sama lain, sampai maut memisahkan.
Pertemukanlah kelak kami berdua, di surgaMu yang seluas langit dan bumi. Karena aku tidak mau masuk kesana sendirian.
Aamiin.
❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE NEEDS NO REASON
Romance(BELUM REVISI) Di kala takdir hampir berkali-kali mempertemukan mereka, di kala itu pula mereka akhirnya dipertemukan oleh Pemilik semesta. Zavi vs Fara. "Mau tahu alasan gue mau nikahi Lu?" Zavi bertanya dan Fara menanggapi dengan malas. "Kenapa...