DUA PULUH

10.9K 1.2K 34
                                    

*Zaviyar Pov*

Suasana meeting pagi ini terasa panas. Ditambah lagi laporan mengenai mismanajemen salah satu rumahsakitku sampai defisit dan banyak pengeluaran untuk memback-up gaji tenaga medis dan paramedis.

"Saya minta manager keuangan di RS Permata Pratama diganti. Hari ini juga Pak Gani, dari Jakarta sementara pindah kesana sampai kita mendapat manager yang baru. Carikan saya kandidat yang terbaik. Rani, kamu dengar dan catat."

Aku memukul meja sampai buku-buku tanganku kemerahan. Sekertarisku langsung memucat seketika.

"Satu lagi, laporan pembelian alat kesehatan di rumahsakit cabang Semarang yang overbudget. Tolong Pak Hilman dan tim, segera ditelusur. Hari ini juga flight kesana."

Aku meninggalkan tempat rapat sambil membanting pintu kesal.

Saat aku masuk ke ruangan, aku tertegun melihat Fara sudah duduk manis membawa tempat bekal makanan berbentuk hati.

Cheesy banget, mentang-mentang pengantin baru. Aku tidak seromantis itu untuk sekedar mengucapkan terimakasih.

"Ngapain kamu kesini Far?"

Fara mengernyitkan dahi mendengar pertanyaanku.

"Antar makan siang. Aku juga bawain buah. Kata Papa, Mas kadang suka sembelit."

Fara menyadari moodku yang sedang buruk. Aku tahu dia hanya berusaha menenangkan. Tapi aku tidak mau terlihat lemah di depannya.

"Lagi banyak masalah di kantor ya Mas?"

Aku menggeleng.

"Biasa aja. Kamu bawa pulang makanannya. Aku mau makan di luar sama Tristan dan Galang."

Tanpa merasa bersalah aku mengambil jas dan pergi, mengabaikan kehadiran Fara yang justru semakin membuatku naik darah.

"Mas... "

Suara lembut itu memanggilku.

"Jangan lupa sebelum berangkat, sholat Zhuhur dulu. Sudah mau masuk waktu sholat lho."

"Iya makasih."

"Mas...," lagi-lagi dia memanggil.

"Jangan lupa besok datang pelatihan pra-nikah. Tinggal tersisa lima hari lagi. Kemarin Mas sama sekali nggak datang."

Pelatihan pra-nikah? Hampir tiap hari aku mendapat notifikasi dari Biro Samara. Toh sekarang sudah bukan pra-nikah lagi. Buat apa ikutan.

"Mas sudah janji mau datang..."

"Bisa nggak jangan banyak omong, kamu lihat kan saya masih banyak kerjaan."

Aku tidak sengaja membentaknya dan wajah Fara juga berubah marah.

"Aku kan juga bicara baik-baik, Mas. Nggak usah berkata seperti itu. Aku juga bukan perempuan bodoh yang nggak ngerti kalau Mas lagi badmood."

Fara balas memarahiku. Sudah beberapa kali ini kami bertengkar dan aku memutuskan untuk pergi.

Sekilas aku melihat wajahnya berubah sedih. Tidak ada yang berbeda diantara kami berdua, seperti sebelum menikah.

Malah bertambah ruwet karena Fara tidak memiliki keshabaran lebih menghadapiku yang temperamental.

Sudah berjalan sebulan dan saat akhir pekan aku memutuskan untuk pulang ke rumah, aku malah tidak menjumpai dia di rumah.

"Kamu dimana?"

Aku mengingat sisa-sisa pertengkaran kami saat aku meneleponnya.

"Aku jaga di rumahsakit, Mas. Ada apa?"

Fara berbisik pelan.

"Kenapa masih jaga weekend? Bilang kek, kalau kamu sudah berkeluarga."

"Lha, Mas sendiri jarang pulang ke rumah. Mana tahu aku Mas mau pulang hari ini. Katanya Mas mau kabari kalau pulang.... "

Aku memutus telepon karena kesal. Ada atau tidak Fara di hidupku, sama saja.

Satpam di lantai dasar menyapaku dengan hormat.

"Selamat siang Pak. Ijin lapor Pak, saya berterimakasih dan menitipkan salam takzim juga untuk saudara perempuan Bapak."

Aku memincingkan mata ke arah Pak Bahtiar yang sedang bertugas pagi itu.

"Saudara saya?"

"Itu Pak, yang hampir tiap hari kesini, mengantar makan siang buat Pak Bos. Mbak yang pakai kerudung. Nanti biasanya sore kesini lagi Pak, mengambil tempat makanannya. Kalau masih utuh, kami yang dinas sore selalu kebagian."

Aku terdiam. Aku memang jarang memakan masakan yang dibawa Fara. Aku sudah terbiasa makan siang diluar. Kupikir tempat makan setiap hari otomatis dibersihkan oleh OB di kantor.

"Dia bilang namanya siapa Pak?"

Aku hanya ingin memastikan.

"Namanya mbak Fara. Saya kirain istrinya Pak Zaviyar. Karena saya kan tahunya pacar Bapak itu yang pernah Bapak ajak kesini. Bukan mbak Fara."

Aku berdiri mematung masih terdiam meski Pak Tono, supir pribadiku sudah membawa mobil tepat di depanku.

"Dia bilang dia siapanya saya Pak?"

Tanyaku seperti orang bodoh.

"Dia cuma bilang, saudaranya Bapak."

Saudara? Jadi Fara nggak mengaku kalau istriku. Entah aku mesti kesal atau bahagia.

"Apa masakannya enak?"

Pak Bahtiar jadi salah tingkah menjawab pertanyaanku.

"Maaf Pak, seringnya keasinan. Tapi nggak papa Pak. Karena gratis, lumayan daripada makan diluar."

Aku masuk mobil dan mengirim pesan singkat untuk Fara.

"Besok-besok kamu nggak perlu antar makanan lagi ke kantor. Lama-lama security di kantor saya bisa hipertensi makan masakan kamu. Kalau mereka sakit, saya juga yang harus mengeluarkan biaya untuk mereka berobat."

Entah kenapa dengan mudahnya aku mengirim pesan itu padanya. Aku tidak suka dia malah memberikan makanan itu untuk orang lain.

Meski aku juga tidak suka memakan masakannya. Aku pernah beberapa kali mencoba dan rasanya tidak mengalami peningkatan.

Aku tahu Fara pernah bilang tidak bisa memasak. Tapi paling tidak dia harusnya bisa berusaha lebih baik lagi.

                               ❤❤❤

LOVE NEEDS NO REASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang