TIGAPULUH SATU

9.4K 1K 21
                                    

*Zaviyar Pov*

"Nomor yang anda tuju, tidak dapat dihubungi."

Aku membanting stir dengan kesal.

Fara, kenapa di saat seperti ini, justru istriku tidak dapat dihubungi. Aku menghubungi Bu Yus.

"Halo Assalaamu'alaikum.
Bik, apa istri saya sudah pulang?"

Perempuan setengah baya di seberang, menjawab salam.

"Ibu belum pulang, Pak."

"Tolong kalau istri saya pulang, jangan biarkan dia menonton tivi hari ini. Minta tolong dicabut saja kabel tivinya."

"Baik Pak."

"Satu lagi, minta tolong istri saya mengaktifkan hpnya. Saya barusan hubungi, tapi tidak aktif."

Bibik mengiyakan, sesaat sebelum aku menutup telepon.

Satu persatu suara telepon berdering sejak wartawan mengejarku dengan banyak pertanyaan.

Galang... Tristan.. dan... Papa?

Aku dengan ragu menelepon balik Papa.

"Assalaamu'alaikum. Ya Pa, tadi Papa telepon ada apa?"

Suara bijak di seberang memintaku untuk mampir ke rumah. Apa mungkin Papa juga menonton televisi dan melihat kejadian siang ini.

Sebuah pesan masuk. Tristan telah mengirim nomer ponsel Kayla. Aku harus bertemu dengan perempuan gila itu, sebelum hubunganku dengan Fara kembali memburuk.

Ah iya, aku baru ingat kalau Fara hari ini mengantar Bunda ke rumahsakit. Aku menelepon ke rumah orangtua Fara.

"Halo, Assalaamu'alaikum. Ayah, ini Zavi. Apa Fara sudah sampai rumah?"

"Sudah, baru saja sampai. Fara masih tidur di kamarnya. Dia kecapekan habis jaga IGD, semalam."

Aku menarik rambut kepalaku berulang kali, karena tidak ingat kalau istriku baru pulang shif malam.

Tiga hari ini aku memilih menginap di apartemen karena sibuk mewujudkan impian Papa untuk segera launching Rumah Sakit Sarah Medika.

Rumah sakit ini, diambil dari nama mendiang Mama. Konsep rumahsakit ini pun, sesuai dengan blue print yang dibuat Mama yang berprofesi sebagai arsitek.

Lampu lalu lintas yang berubah menjadi merah, seketika menghentikan laju mobil yang kupacu kencang.

Aku kembali menelepon Fara. Sayang, tolong angkat teleponnya. Please... I beg you...

"Halo, assalaamu'alaikum."

Suara itu... Alhamdulillah, suara yang amat kurindukan.

"Wa'alaikumsalam. Sayang, aku jemput ya sekarang. Kamu siap-siap. I really miss you so much."

Suara di seberang yang terdengar baru terjaga dari tidur, mengiyakan. Faraku yang kusayangi.

"Fara, apapun yang terjadi, kamu tetap percaya ya, sama aku.

Aku sayang sama kamu. Kamu cahaya dalam hidupku. Jangan pernah tinggalkan aku."

Aku memohon pada istriku sementara di seberang, istriku hanya terdiam.

Sebentar kemudian ia kembali mengiyakan permintaanku. Mendengar suara Fara yang lembut, jiwaku bagaikan menemukan oase di tengah gurun pasir.

God, You know that i really love her. Don't ever seperate us, no matter what happens.

"Aku tunggu di rumah Ayah. Hati-hati ya Mas. Jangan ngebut. I love you."

Suara klakson mobil di belakang menyadarkanku, lampu lalu lintas sudah berubah hijau. Aku menginjak pedal gas dan di depanku seolah wajah Fara sedang tersenyum menyambutku.

Sesaat aku hilang kesadaran saat tiba-tiba sebuah sepeda motor dari arah seberang melaju kencang dan menuju ke arahku.

Ya Allah... Aku tidak sempat membanting stir. Apa yang terjadi, terjadilah. Aku mengerem sekuat tenaga. Yang terakhir kuingat, hanyalah kaca depan mobilku yang tiba-tiba retak dan air bag di depanku terbuka.

Aku seperti melihat akhir hidupku. Air mataku menitik tanpa bisa kutahan. Ampuni dosa-dosaku Ya Rabb. Bahagiakanlah orang-orang yang aku cintai. Papa...  Fara.... Jagalah mereka selalu.

                                  ❤❤❤

*Fara Pov*

"Aduh... "

Jariku teriris pisau saat hendak memotong tomat. Aku sedang menyiapkan sop bakso ceker kesukaan Mas Zavi.

Lupakan sejenak hiruk pikuk pemberitaan media mengenai penyanyi cantik yang baru meluncurkan lagu barunya, di televisi.

Saat aku menikah dengan suamiku, aku berusaha menerima masa lalunya. Perempuan itu mungkin salah satu dari sekian perempuan yang terluka karena suamiku.

Jika ada kesempatan, aku akan menemuinya untuk meminta maaf. Mungkin lebih baik mengalah daripada ikut larut dalam kemarahan karena dia mencoba masuk dalam kehidupan rumah tangga kami.

Kalau aku balik marah dan memakinya, aku tidak akan ada bedanya dengan dia.

"Fara, jari kamu berdarah. Ambil tensoplast di kotak obat. Biar Ayah yang selesaikan masaknya."

Aku menurut. Darahku menetes di bawah air wastafel. Aku mengambil tensoplast dan menyusul Bunda yang sedang menonton berita siang sambil menyelesaikan rajutannya.

Sebenarnya aku sedikit sedih mengetahui bahwa Bunda sedang menyelesaikan rajutan keduanya. Dua buah baju mungil untuk calon cucunya.

Ya, Bunda berharap aku segera mengandung dan sampai saat ini aku belum ada tanda-tanda ke arah sana. Ayah datang membawa wadah berisi sayur sop yang sudah matang.

Ayah mengambil remote tivi dan mematikan acara berita yang menurut Ayah kurang bermanfaat. Karena siang ini biasanya berisi berita seputar tindakan asusila dan kriminal.

Kami bertiga menikmati suasana makan siang yang sudah lama tidak kurasakan. Hangat dan bahagia. Ayah bercanda, mengatakan Bunda bertambah cantik sepulang dari rumahsakit.

Apa hubungannya, coba. Itu bagian dari semangat Ayah agar Bunda tetap rajin untuk terapi, memperkuat otot dan tulangnya agar bisa berjalan.

Aku tertawa melihat kebahagiaan yang diciptakan Ayah untuk membuat Bunda tersenyum. Tidak jarang Ayah mencium pipi Bunda dan memeluknya, di depanku.

Suara bel dari depan pagar, membuyarkan lamunanku tentang suamiku. Melihat kemesraan Ayah dan Bunda, aku jadi ingin memeluk bahu suamiku yang hangat.

Senyumku bertambah saat mendengar suara bel. Itu pasti Mas Zavi. Ia pasti lapar dan menyantap makan siang sebelum pulang ke rumah, pasti membuatnya senang.

Aku tertegun saat membuka pintu. Namira dan Kak Bobby. Lelaki itu memandang ke arahku dengan iba.

Tunggu... Apa yang sebenarnya terjadi.

"Fara, kita ke rumahsakit sekarang."

"Siapa yang sakit, Nam? Aku masih menunggu Mas Zavi. Ia bilang mau jemput. "

Namira memelukku sambil menahan tangis.

"Iya, tadi sebelum kesini, Mas Zavi menghubungi aku untuk jemput kamu. Kak Bobby akan pamitin ke orangtua kamu."

Namira menggandeng tanganku menuju mobil. Sebongkah perasaan aneh dan sedih, perlahan hadir memenuhi dadaku dan aku mulai sesak. Kepalaku tiba-tiba pusing.

Di dalam mobil, aku memilih tidur dan sekilas dapat kutangkap Kak Bobby dan Namira yang duduk di depan, memandang sedih ke arahku. Perasaan apa ini. Aku tidak mau mereka melihatku dengan rasa kasihan.

Perlahan aku mulai larut dalam rasa kantuk. Menenggelamkanku dalam pikiran di alam bawah sadar. Samar aku seperti mendengar suara suamiku.

"Fara, kamu shabar ya Sayang. Apapun yang terjadi, Mas akan selalu menyayangimu. Kamu tidak akan sendirian. Ada Allah yang akan selalu menjagamu."

Air mataku tanpa terasa mulai menitik membasahi pipi. Ya Allah, lindungi suamiku. Lindungi kami karena Engkaulah sebaik-baik Pelindung.

                                 ❤❤❤

LOVE NEEDS NO REASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang