SEMBILAN BELAS

10.1K 1.2K 40
                                    

*Fara Pov*

Di detik ketika kamu melafadzkan namaku saat ijab kabul, di saat itulah aku resmi melabuhkan do'a dan harapan mengenai kita.

Kucoba menutup rapat pintu hatiku untuk hati yang lain. Ku akan mencoba setia untuk mengetuk pintu hatimu yang entah kapan akan terbuka untukku.

Aku memejamkan mata. Semua terasa begitu cepat. Selang dua pekan setelah pertemuan keluarga untuk bertukar cincin dalam rangka khitbah, selang tiga pekan berikutnya aku resmi menikah.

Saat Namira memelukku dan mengucapkan selamat, mataku sepenuhnya terbuka. Statusku kini telah berubah. Menjadi seorang istri.

Aku bahkan lebih dulu menikah dari dokter Fawaz. Ah nama itu lagi, yang seharusnya kuberjanji sudah menghapusnya bersih dari ingatanku.

Tapi kata orang, cinta pertama sulit dilupakan. Benarkah ia lelaki cinta pertamaku? Lantas mengapa ia terlambat memperjuangkanku.

Namira menyadari titik air mata yang menitik di ujung kelopak mataku.

"Eh... Pengantin, pamali atuh nangis di hari bahagia."

Namira menghiburku. Dia juga menyadari gelagat suamiku yang masih enggan berfoto bersama dalam posisi intim bersamaku.

Biarlah, aku hanya ingin hari ini cepat berlalu. Supaya kesedihanku menguap bersama sang waktu.

Selesai akad nikah dan makan siang bersama, Zaviyar mengantar Papa kembali ke rumah. Tidak henti lelaki itu menggenggam tanganku. Namun begitu Papa sudah masuk ke dalam rumah, ia melepas tanganku pelan.

"Kalau Mas capek, istirahat saja di rumah. Aku saja yang antar Ayah sama Bunda pulang."

Aku tetap membahasakan 'Mas' untuk menghormati lelaki ini. Meski pada kenyataannya, usiaku lebih tua darinya.

"Kita pergi bersama. Setelah mengantar Ayah Bunda, kamu akan aku antar ke rumah baru kita."

Aku menurut. Sepanjang perjalanan hanya Ayah yang aktif mengobrol banyak hal dengan suamiku. Mulai dari politik sampai bisnis.

Aku sendiri sudah mengantuk dan tanpa sadar aku tertidur di jok belakang. Menemani Bunda yang sesekali masih mengelus puncak kepalaku dengan lembut.

Bisakah aku memulai hidup sendiri tanpa kedua orangtuaku. Oh, betapa cengengnya diriku, padahal usiaku sudah kepala tiga, tapi tidak ada dewasa-dewasanya.

"Far, bangun... Sudah sampai."

Seseorang menepuk pipiku pelan sampai aku membuka mata.

"Tuh ada tissue untuk menghapus air liurmu." Zaviyar menunjuk bibirku.

Aku tertunduk malu dan meraba sudut bibirku yang sedikit berair. Oh, memalukan. Bahkan di hari pertama menikah, aku sudah tampak buruk di mata suamiku.

Pintu mobil Alphard silver terbuka dan aku pun mengikuti langkah lelaki ini, menuju rumah berlantai dua di depan kami.

"Ini Mas Raka yang buat desainnya.  Saya yang request minimalis. Saya lebih senang rumah yang nggak banyak barang. Saya pencinta kebersihan dan kerapihan.

Oya, koper-koper kamu nanti Pak Maman yang antar ke atas. Disini saya mempekerjakan security dua orang, Pak Maman dan Pak Deni. Ada tukang kebun, Pak Roni dan istrinya Bu Yus yang akan temani kamu. Bu Yus akan bantu beres-beres rumah."

"Terus aku ngapain di rumah, Mas?"

"Makan dan bobok manis aja. Itu hobinya kamu kan?"

Suamiku tersenyum entah menyindir atau memang beneran maksudnya.

"Besok jangan lupa bawa fotokopi KTP,  buku nikah dan kartu keluarga kamu. Kita lapor sekaligus silaturahim ke rumah Pak RT dan Pak RW."

Aku mengikuti langkah suamiku naik ke lantai atas.

"Ini kamarku, tepat di sebelah kamar kamu. Kalau kamu nggak nyaman atau takut tidur sendirian, masuk aja ke kamarku. Nanti aku tidur di sofa."

Hidupku mulai terasa ganjil sebagai pasangan suami istri.

"Malam ini Mas tidur disini?"

Suamiku hanya diam.

"Aku mau buat kopi dulu."

"Mau aku buatin?" aku menawarkan diri.

Dia menggeleng.

"Aku buat sendiri saja."

Beberapa penolakan demi penolakan mulai kurasakan, membentuk perih di hatiku.

Far, jangan putus asa. Lama kelamaan akan tumbuh cinta di antara kalian. Bukankah dengan intensnya pertemuan antara dua orang laki-laki dan perempuan yang telah halal bersatu, akan bersemi rasa cinta itu.

Aku membuka pintu kamar yang didesain girly dengan nuansa pink. Pink bukan warna favoritku. Padahal di biodata aku sudah menulis aku suka warna broken white dan biru muda.

Beberapa menit kemudian terdengar suara deru mobil, keluar dari garasi.
Aku mengintip melalui jendela. Suamiku pergi.

Sebuah pesan masuk ke layar ponselku.

"Aku tidur di apartemen. Jangan lupa kunci pintu. Barusan Pak Maman sudah bawa koper kamu di depan pintu kamar."

Mungkin hanya anganku yang ketinggian, berharap seseorang mengucapkan selamat tidur atau ucapan sayang layaknya pasangan yang baru menikah.

Far, jangan menangisi dan menyesali sesuatu yang telah kamu putuskan dalam hidupmu.

You have to walk step forward, never look back.

You are the architect of your own future.

Aku mengambil wudhu dan menunaikan sholat Isya. Sebentar kemudian setelah membaca beberapa lembar Qur'an, kantukku mulai datang. Tanpa sadar, aku jatuh tertidur di atas sajadah.

                             ❤❤❤

LOVE NEEDS NO REASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang