DUA

15.4K 1.4K 36
                                    

Kafe Riverside.

Lelaki berumur enampuluhlima tahun itu meneliti desain akhir rumah sakit yang akan launching enam bulan ke depan.

"Perfect, terimakasih Mas Raka. Sudah membuat impian saya dan almarhum istri saya terwujud.
Lantai dasar ini sudah sesuai dengan impian istri saya.

Suasana yang cozy mulai dari ruang pendaftaran, food court, playground dan nursery room. Setiap lantai, memiliki mushola yang terpisah laki-laki dan perempuan dengan toilet yang bersih dan nyaman.

Satu hal yang masih mengganjal di hati saya Mas. Saya masih berkeinginan untuk mendirikan masjid. Menurut Mas Raka, sebaiknya di sebelah mana ya? Saya menghindari posisi yang mendekati tempat parkir. Saya tidak mau seperti di banyak Mall, terkesan Masjid hanya mendapat ruang sisa."

Pengusaha berambut setengah memutih itu, masih berkutat pada denah yang dibuat oleh Raka, arsitek kebanggaannya.

Ia masih mencermati beberapa kemungkinan area yang akan dibangun Masjid untuk pengunjung sekaligus karyawan Rumahsakit.

"Bagaimana kalau di halaman samping pintu keluar ruang fisioterapi, Pak Zul? Disitu rencana akan saya bangun taman. Akan lebih bagus bila kita bisa membangun Masjid dengan taman dan kolam ikan di bawahnya. Lebih sejuk saya rasa."

"Masya Allah. Ide brilian Mas Raka. Coba tolong dibuatkan desainnya supaya bisa saya diskusikan dengan putra saya, Zavi."

Raka mengangguk dan bersiap untuk pamit pergi.

"Mas Raka... Bagaimana rencana pertemuan nanti malam?"

Pak Zulfikar teringat putranya yang bernama Zaviyar. Ia meminta Raka untuk mengenalkan Zavi ke temannya Namira, istri dari Raka.

"Insya Allah jadi Pak Zul. Mas Zavi sendiri, bisa datang kan ya?"

Pria setengah baya bernama Zulfikar Adliansyah itu menghela napas panjang.

"Itulah Mas Raka. Semalam saya sudah ingatkan untuk datang pertemuan makan malam hari ini, dia bilang Insya Allah."

"Ehem... Begini Pak Zul, teman istri saya yang namanya Fara ini, gadis yang baik. Saya sendiri hanya mengenalkan pada lelaki yang memang serius membina hubungan ke arah rumahtangga.

Pak Zul pernah bilang, Mas Zavi berkeinginan menikah tahun ini juga kan?"

Pak Zul mengangguk sambil meminum teh hangatnya yang tinggal separuh.

"Ya, dia ingin memenuhi wasiat almarhum Mamanya, ingin Zavi menikah sebelum berusia 33 tahun. Dan tahun ini dia akan berusia 32 tahun."

Raka terdiam. Jadi, Zafi putra Pak Zulfikar menikah hanya karena ingin memenuhi pesan mendiang Mamanya. Apa kabarnya dengan Fara yang hendak dikenalkan olehnya sementara gadis itu sungguh-sungguh mencari calon suami.

Apa sebaiknya pertemuan mereka dibatalkan saja. Dia juga tidak mau lelaki bernama Zavi yang pernah beberapa kali bertemu dengannya, hanya akan menorehkan luka di hati Fara, sahabat istrinya.

Bisa-bisa hubungannya dengan Namira juga berantakan kalau ternyata Zavi hanya main-main saja.

Tiba-tiba ponsel keduanya berdering bersamaan.

"Maaf Mas Raka, saya ijin mengangkat telepon dulu."

"Silahkan Pak Zul."

Namira menelepon.

"Assalaamu'alaikum sayang, aku masih bertemu Pak Zul. Nanti aku telepon lagi ya."

"Tapi nanti malam jadi kan? Ini Fara sudah aku ajak ke salon, biar lebih fresh pas ketemuan sama anaknya Pak Zul."

Kepala Raka mendadak jadi pusing. Istrinya terlampau semangat menjodohkan Fara.

"Mas Raka, mohon maaf barusan Zavi telepon. Dia malam ini malah sudah janji ketemuan sama teman-temannya, alumni bisnis dan manajemen Universitas Oxford."

"Oh ya Pak, tidak apa-apa. Nanti akan saya sampaikan ke istri saya dan sahabatnya. Saya pamit dulu ya Pak."

Begitu keluar dari ruangan Pak Zulfikar, mendadak Raka jadi keringat dingin. Alamat dia bakal kena semprot Namira karena pertemuan malam ini antara Fara dan putra Pak Zul, gagal terlaksana.

                              ❤❤❤

LOVE NEEDS NO REASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang