Ia membuka matanya dan mendapati dirinya berada dalam ruangan yang bernuansa putih itu.
Ia mencoba menyesuaikan cahaya diruang itu.
"Dava" suara berat memanggilnya.
Ia mengalihkan pandangannya kearah sumber suara.
"pa.. " jawabnya dengan suara seraknya.
"jangan banyak gerak dulu kata dokter, nanti jahitannya bisa lepas lagi" ucap Papa Dava. Mendengar itu, ia menjadi ingat kembali tentang kejadian sebelumnya.
"pa, mana Rain? " tanya Dava, sambil mencari keseluruh ruangannya.
"tadi, waktu antar kamu kesini, papa lihat banyak luka di tangan dan kakinya.
Jadi, papa minta temanmu untuk mengantarnya kedokter, agar bisa diobati".
Jelas papanya.
"tapi, dia gak pa pa kan pa? " tanya Dava khawatir.
"dia, gak pa pa" balas papanya lagi.
"pa, aku udah dapatin pelaku dari semua ini". Dava mulai menceritakannya pada papanya
"iya, papa Tau. Papa bangga sama kamu.
Kamu hebat" ucap papanya. .
Dava mengangguk lega,
Lalu bagaimana dengan mamanya?
"mama.. " gumam Dava, ragu.
"mama kamu diruangannya. Mama belum tau semua ini Dav, masih berat buat papa beritahu ke mama soal adik kamu" ucap papa Dava. Terlihat sekali papanya benar-benar frustasi.
Disatu sisi, ia tidak ingin mamanya terus terusan menganggap Dea masih hidup ; disisi lain, ia juga tidak ingin mamanya terpuruk lagi. Tidak ingin mamanya menangis lagi.
Andai dulu gue gak mikirin diri sendiri
Dava menatap ayahnya yang sedang menunduk.
Andai dulu papa sama mama nggak sibuk sibuk banget!Tiba-tiba, seseorang masuk keruangan Dava.
"Rain" ucap Dava pelan. Ia melihat dari bawah hingga atas, gadisnya baik baik saja.
Dava tersenyum pada Rain.
Gadis itu tetap diam.
Melihat itu, papa Dava keluar dengan alasan ingin melihat mama Dava, yang sebenarnya hanya ingin membiarkan anaknya bicara sebentar dengan gadis didepannya ini.Dava sekali lagi melihat keadaan Si gadis hujannya.
"ada yang sakit? " tanya Dava khawatir.
Rain menggeleng, matanya hanya memperhatikan Dava saja.
Dava membalas tatapan Rain.
Seolah mengerti arti tatapan itu, Dava menarik tangan gadisnya.
"Aku senang kamu gak pa pa. Kamu gak usah mikirin aku. Kata dokter, luka tembak ini tidak begitu parah. Jangan khawatir. Jangan merasa bersalah. Aku akan sangat menyesal, kalau sampai kamu kenapa-kenapa disana. Aku nggak mau kehilang gadis yang aku cintai untuk kedua kalinya" ucap Dava panjang lebar.
Rain terlihat menghelakan napasnya.
Ia menyerahkan surat biru pada Dava.Saya ingin berbicara sebentar dengan mama Kak Dava.
Dava menatapnya tak percaya.
"mau bicara apa? " tanya Dava.
Rain menuliskannya di kertas yang serupa.Soal aku dan Dea
"Udah, jangan! " balas Dava.
Rain menggenggam tangan Dava sambil tersenyum tulus.
Ia mengambil kertas lagi.
Tolong, sekali ini saja.
Dava menghembuskan napas terasa berat mengijinkan itu.
"aku percaya kamu" keputusan terakhir Dava.Setelah membicarakan ini dengan papa Dava, akhirnya, Dava dan papanya mengantar Rain diruangan mamanya.
"loh teman Dea kan? " wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu, begitu bersemangat bertemu Rain.
Rain tersenyum.
"mana Dea sayang? " tanya mama Dava lembut.
Rain memberikan sebuah surat yang diisi didalam amplop pink.Mama sayang,
Dea hari ini ulang tahun,
Dea senang sekali.
Mama jangan sibuk dong, Deakan kangen main sama mama, sama papa, dan sama abang Dea.
Mama tau nggak.
Dea sekarang udah gede, banyak cowok deketin Dea lho..
Dea cuman minta mama jangan sampai sakit ya. Dea nggak marah kalau mama sama papa sibuk. Tapi ingat Dea sama bang Dava juga..."yang paling mama sayang, Dea. "
Mama Dava menyelesaikan membaca isi surat itu.
Air matanya sudah mengalir sejak pertama tau surat itu dari anaknya.
"nak, ini dari Dea? " tanya mama Dava pelan. Rain mengangguk.
"kamu ketemu Dea dimana? Suruh dia kesini, mama sudah rindu sekali"
Rain menunduk.
Ia menyerahkan surat birunya.Tante, dea udah nggak ada, jangan lagi berharap ia ada disini.
Rain memegang tangan mamaDava yang sepertinya akan lari.
Rasanya, seperti ada benda besar yang menghantam kepalanya.
"Tante, tante harus kuat. Ikhlasin kepergian Dea tante, tante harus tau... Selama Dea masih hidup, Dea hanya ingin om dan tante selalu ada waktu untuk dia.
Tapi, waktu sudah mengambilnya" Raina melepaskan tangan mama Dava yang sudah mulai tenang.
Ia membalikkan wajahnya, mengelap air matanya yang mulai mengalir.
"Dea pergi tanpa mendapatkan keinginannya itu. Saya tau, sakit tubuhnya yang terhempas jauh karena tabrakan itu, huffft" Rain menghembuskan napasnya, menahan sesak didadanya.
"tidak lebih besar dari sakit hatinya karena tak bisa memiliki banyak waktu untuk tante ataupun yang lainnya, dan sekarang, ketika dia sudah pergi, Ia hanya ingin tante om ataupun ka Dava buat move on. Jangan sedih terus, nanti Deanya juga sedih tante"
Mama Dava terduduk dilantai.
Melihat itu, Rainpun ikut terduduk menenangkan Mama Dava,
"Ya Tuhan, nak.. Maafkan mama, maafkan mama yang terlalu sibuk, sampai melupakan anak perempuan mama. Maafkan mama sayang, maafkan mama" ucap mama Dava dengan isakan tangis yang makin menjadi jadi, Rainpun sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya, ia memeluk mama Dava sambil menangis, Dava dan papanya yang sedang berada diluar mendengar semuanya. Papa Dava bahkan sudah ikut menangis, sedangkan Dava berusaha kuat, menahan sesak didadanya.
...
Setelah beberapa jam, mama Dava terlihat lebih tenang.
"nak" panggil mama Dava. Rain mengangkat wajahnya menatap mata merah dan bengkak mama Dava.
Suara serak itu memanggilnya.
"anterin tante ke pusaran Dea yah, tante sudah sangat lama tidak kesana. Ajak Dava dan om juga" ucap mama Dava.
Rain mengangguk, ia membantu Mama Dava untuk bangun dari posisi duduk tadi.
Setelah itu Ia keluar dari ruangannya. Melihat Dava dan papanya diluar, ia segera menemui mereka.
"ada apa Rain? Gimana keadaan mama? " tanya Dava beruntut.
Ia mengetik sesuatu, lalu menyerahkannya pada Dava.
"serius kamu!? " tanya Dava semangat.
"pah, mama ngajak kita ke kubur Dea.. Mama udah sehat pah, mama udah bisa menerima kepergian Dea" ucap Dava antusias.
Papanya tersenyum pada Dava dan Rain.
"syukurlah Dav, Nak, makasih ya. Om gak tau harus ngomong apa lagi. Makasih" ucap papa Dava tulus.
Rain mengangguk sebagai jawaban.
.
.
.
"Anak mama yang sekarang sudah bahagia disana... Mama minta maaf, mama terlalu sibuk sampai melupakan kamu... Mama terlalu egois... Mama..... " isakan tangis mulai keluar lagi.
Papa Dava mengusap bahu mama Dava untuk menenangkannya.
"ini tidak mudah, tapi kami berusaha untuk menerimanya. Nak, yang tenang kamu disana ya, jangan khawatir... Mulai saat ini papa sama mama bakalan kuat. Doain papa mama dan Dava untuk ikhlasin kamu" ucap papa Dava.
Dava ikut menunduk.
"Dek, kakak sering kesini, tapi sendirian... Sekarang kamu udah senang kan, disini kak Dava nggak sendiri.. Ada papa, mama, dan teman kamu..Rain" ucap Dava sambil menatap gadis hujannya yang sedang berdiri disebelahnya.
Rain pun balik menatap Dava. Cahaya matahari sore yang terpancar diwajahnya, membuat Dava terpesona.
"ayo ma, kita pulang. Kasihan Dava, dia masih sakit." ajak papa Dava.
Dava mengangguk membenarkan.
"ia nih ma.. Perut Dava rasanya ketarik banget.. Pulang dulu yuk kerumah sakitnya" sambung Dava. Mama Dava tersenyum lalu memegang nisan Adiknya.
"sayang.. Mama, papa, Dava dan teman kamu pulang dulu yah, nanti kalau Dava sudah sembuh baru kami kesini lagi. Mama saya sama kamu nak" ucap mama Dava.
Ia mengusap air matanya sambil bangkit berdiri diikuti Papa dan Dava.
Dava berjalan pelan dibantu Rain, sambil memegang perutnya.
"makasih ya Rain. Makasih untuk semuanya" ucap Dava tulus dari hatinya yang paling dalam..
.
.
.
.
.#Dirumahaja
#bacawattpad
#ceritaRain
#gadishujan
#voment
KAMU SEDANG MEMBACA
RAINA
Teen FictionBidadari hujan. Aku pernah mengatakan bahwa aku membenci hujan. Tapi, ketika aku melihatmu. Hujan menjadi salah satu hobiku untuk menunggu kamu datang sebagai pelangi. Dava Adenara