Aku terduduk di halte bus seusai pulang kerja. Sungguh aku sudah begitu rindu dengan kasur serta guyuran air hangat untuk menghilangkan rasa pegal dan pusing setelah seharian bekerja. Badanku benar-benar lelah.
Angin berembus kencang, menerbangkan rambutku yang kini terurai. Langit biru itu perlahan tertutupi oleh kelabunya mendung. Aku melihat jam tanganku, sudah pukul lima lebih lima belas menit. Aku paham betul hujan sebentar lagi akan mengguyur jalanan ibu kota.
Di waktu jam pulang kerja seperti ini, seharusnya ada banyak karyawan yang sedang menunggu bus trans di halte ini, tapi entah karena mendung atau apa, di halte ini hanya duduk aku seorang diri. Mungkin mereka lebih memilih untuk naik taksi daring agar tidak perlu repot menunggu bus trans.
Perlahan tetesan air mulai turun, setitik, dua titik dan menyusul titik-titik lain yang semakin lama semakin deras. Aku terdiam, terpaku pada hujan yang katanya selalu membilas kenangan. Rasanya aku sudah lelah berangan dengan kenangan yang selalu mengusik. Sungguh, lebih baik aku mencari sela jemari baru daripada harus berangan kembali pada masa lalu.
"Sudah hujan, mending kamu pulang sama saya saja, daripada nunggu bus," ucap seseorang yang entah sejak kapan sudah duduk di sampingku.
Aku menoleh, menatap lelaki itu dengan bingung. "Sejak kapan Mas Argi di sini?"
Lelaki itu menaikan satu alisnya. "Sejak kamu melamun pas lihat hujan."
"Mas Argi kenapa belum pulang?" tanyaku yang heran dengan keberadaan lelaki itu di sisiku.
"Saya mau pulang, lihat kamu di sini, saya samperin. Mending pulang bareng saja, ayo!" Mas Argi berdiri dan menoleh ke samping halte, ke arah mobil hitam yang terparkir di sana.
Aku tersenyum kikuk. "Tapi nggak ngerepotin 'kan, Mas?"
"Mungkin repot iya, tapi saya yang menawarkan," jawab lelaki itu dengan cuek.
Lelaki itu memberi isyarat untuk aku segera mengikutinya. Aku berdiri dan berjalan di sampingnya menuju mobil hitam milik lelaki itu. Suasan hening menyelimuti karena memang aku dan Mas Argi bukan seseorang yang senang berbicara dengan hal yang kurang penting. Kami benar-benar tak bisa memulai untuk berbasa-basi untuk membuka obrolan.
"Masih di apartemen lama 'kan, Shir?" tanya Mas Argi yang membuatku menoleh seketika. Mas Argi, satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama depanku.
"Iya, Mas. Belum pindah kok," jawabku seadanya. Lelaki itu tampak mengangguk.
Aku memandang wajah Mas Argi dari samping. Lelaki itu bisa dikatakan masuk kategori tampan hanya mungkin lelaki itu terkesan cuek dan enggan basa-basi. Memiliki wajah yang begitu pas takarannya. Darah khas jawa dengan pipi tirus yang dan rahang tampak tegas, hidung mancung dipadukan dengan bibir dan alis yang tebal. Mata coklat gelap dengan sorot yang bisa mengintimidasi lawan. Warna kulit lelaki itu begitu bersih cukup putih untuk ukuran orang Indonesia.
Aku segera mengalihkan tatapanku agar tidak ketahuan sedang memperhatikan lelaki itu. Mas Argi sebenarnya memiliki hampir semua kriteria lelaki idaman bagi kaum hawa. Pekerjaan mapan, wajah tampan, tampilan yang selalu terlihat oke. Dia merupakan sosok pemimpin yang baik, meski jabatannya belum sampai manajer, tapi untuk lelaki dengan usia sekitar dua puluh delapan tahun dan sudah menduduki kursi asisten manajer, lelaki ini sudah cukup mapan.
"Kamu mau mampir beli sesuatu dulu atau langsung ke apartemen?" Aku kembali menoleh, berpikir sejenak.
"Nggak, Mas. Langsung pulang saja."
"Nggak minat makan?" tanya lelaki itu lagi.
"Eh? Enggak, Mas. Bahan di lemari es masih banyak, nanti mau masak saja." Aku tersenyum kikuk saat menjawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sela [Completed]
ChickLitCompleted. sela /se·la /n 1 tempat (ruang) di antara dua benda (barang) ; 2 celah ; 3 sesuatu yang tersisip (terletak) di antara benda-benda dan sebagainya Ratih mempunyai prinsip tak akan mengulang kembali pada masa lalu, tapi prinsipnya seolah han...