Sela Kisah

6.1K 719 11
                                    

Aku menatap malas pada layar laptop yang berada di hadapanku ini. Mas Argi hari ini izin tidak berangkat. Dia masih tak memberikan kabar. Aku ragu pada lelaki itu, jelas. Tapi rasa takut yang lebih menggerogoti hatiku. Takut lelaki itu meninggalkanku setelah aku menggantungkan harapan besar padanya.

Hari ini sudah pukul empat sore. Sebenarnya ada proyek yang harus aku selesaikan hari ini, tapi sepertinya aku bisa menunda sampai malam nanti karena tenggat waktunya sampai pukul dua belas malam.

Aku segera membereskan barang - barangku. Hari ini aku mengendarai mobil sendiri. Aku segera bergegas pergi tanpa berniat pamit ke rekan - rekan kerjaku. Moodku hari ini benar - benar buruk.

Aku berjalan menuju parkiran dan mencari keberadaan mobilku. Saat menemukan mobil berwarna putihku, aku segera berjalan menuju ke arah mobilku itu. Saat jarak aku dari mobilku tak begitu jauh, aku melihat seorang pria bersandar di samping mobil putih itu. Aku menghentikan langkahku, menatap lelaki itu dengan seksama. Ada perasaan yang menyusup saat lelaki itu membalas menatapku begitu lekat dan tajam. Sungguh aku rindu lelaki itu.

Kulangkahkan kakiku untuk menghampiri lelaki yang sudah beberapa hari ini tak bisa kutemui maupun kuhubungi, lelaki yang menyita seluruh pikiranku. Saat sampai di dekatnya, segera kutabrak tubuh tegap itu. Kupeluk tubuhnya untuk menyalurkan rasa rinduku ini.

"Maaf tidak bisa hubungi kamu, Ra," bisik lelaki itu yang entah bagaimana membuatku merasa tenang dan ragu itu perlahan terangkat.

Aku menggeleng dalam dekapan lelaki itu. "Saya harusnya yang minta maaf sempat meragukan kamu, Mas."

"Maaf membuatmu ragu, Ra. Tapi satu hal yang harus kamu percaya, saya serius sama kamu. Saya hanya mau sama kamu, Ra." Hatiku menghangat mendengar pernyataannya.

Aku segera melepaskan pelukanku. "Mas kok balik nggak bilang ke saya dulu?"

"Saya tahu kamu sibuk, dari bandara saya langsung ke sini buat nemuin kamu."

Aku tersenyum. "Naik apa tadi?"

"Taksi dan ternyata kebetulan kamu bawa mobil. Mana kuncinya, biar saya yang nyetir!" Aku menunjukkan kunci mobilku, tapi aku merasa kasihan dia baru sampai di sini. Tas yang masih dia gendong belum dia taruh.

"Mas pasti capek, biar saya aja yang nyetir."

"Nggak, Ra. Pesawat Jogja - Cengkareng nggak selama itu yang buat saya kecapekan." Akhirnya kuserahkan kunci mobilku pada lelaki ini.

Kami segera memasuki mobilku. Sempat hening beberapa saat lelaki itu menyalakan mesin mobil. Ada banyak pikiran yang memenuhi benakku. Mobil keluar dari parkiran, Mas Argi melajukannya dengan kecepatan standar.

"Ada yang mengganggu pikiran kamu, Ra?" Aku menolehkan kepalaku ke arah Mas Argi yang bertanya secara tiba-tiba.

Aku mengusap wajahku. "Nanti saja, Mas kalau sudah sampai di apartemenku. Kita butuh bicara!"

Kulihat lelaki itu mengangguk dan kembali berkonsentrasi mengemudikan mobil menuju ke apartemenku. Sepanjang perjalanan sampai di apartemen kami hanya diam, aku dengan segala pikiran tentang hubungan ini dan apa yang akan kami bicarakan nanti.

Kini kami sudah duduk saling berhadapan dengan dua cangkir kopi dan dua kaleng cemilan yang tersedia di apartemen ini. Kami masih sama-sama diam. Mas Argi menatapku begitu lekat dan tajam.

"Ra, apa yang mengganggu pikiran kamu?" tanya lelaki itu yang tetap menatapku dengan tajam.

"Kamu beneran mau serius sama saya, Mas?" Mas Argi yang sedang menyesap kopinnya mengangguk. "Bagaimana dengan orang tua kamu?"

Aku sudah membuang rasa gengsiku masa bodoh aku dianggap cewek agresif atau bagaimana, aku hanya tak ingin kejadianku dengan Gamilang kembali terulang.

Mas Argi meraih tanganku yang berada di pangkuanku. "Kamu tak usah khawatir, Ra! Kemarin saya pulang, saya sudah berbicara dengan keluarga saya mengenai kamu dan hubungan kita yang serius. Sekarang yang saya tanyakan, kapan saya bisa berbicara dengan orang tua kamu secara serius, Ra?"

Aku menatap Mas Argi dengan perasaan yang lega luar biasa. "Weekend ini bisa nggak kamu, Mas?"

Lelaki itu mengangguk. "Bisa, Ra. Kita omongin secara serius ya. Kamu mau saya ceritakan sesuatu nggak, Ra?"

"Apa?"

Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya dan duduk di sampingku sambil memeluk bahuku. "Saya takut malah jika orang tua kamu menolakku."

"Mas, nggak mungkin orang tua saya menolak kamu."

"Ra, saya ini bukan berasal dari keluarga yang berada. Dulu keluarga saya termasuk keluarga yang kekurangan, Ra. Saat saya lulus SMA, saya sempat dilarang buat kuliah, tapi dulu saya nekat kuliah. Saya ikut tes masuk perguruan tinggi dan Alhamdulillah saya diterima dengan beasiswa bidikmisi. Orang tua saya tetap tak mengizinkan saya, saya disuruh kerja saja biar cepat menghasilkan uang. Saya nekat kuliah dan menentang orang tua saya.

"Saya akhirnya merantau ke Depok buat kuliah di UI sambil kerja part time. Saya kuliah sambil kerja, nggak cuma satu, saya banting tulang untuk menghidupi diri saya di sini. Saya juga mengirimi uang untuk kepentingan pendidikan adik saya di Klaten. Saya kuliah tak punya komputer, saya setiap malam ke warnet buat ngerjain tugas sepulang kerja. Kuliah kalau ada waktu luang saya ke laboratorium komputer buat belajar. Hidup saya waktu kuliah tak sempat untuk nongkrong sama teman atau seperti yang dilakukan oleh anak kuliahan pada umumnya, Ra."

Aku mendengarkan cerita Mas Argi dengan seksama. Aku tak menyangka bagaimana kehidupan Mas Argi dulu. Lelaki itu tampak sedih. Aku segera meraih tangannya yang tidak memelukku dan menggenggamnya erat. Menguatkan lelaki yang berhasil membuatku luluh ini.

"Ibu dan bapak saya seorang buruh tani dulunya, Ra. Nggak punya tanah luas seperti para tetangga kami. Saya tak kuliah tak pernah ingin membebankan hidup mereka, Ra. Hingga saya berhasil lulus dengan terpuji. Saya dulu juga waktu kuliah selalu mengikuti lomba - lomba yang menghasilkan uang. Pas saya wisuda, saya memboyong keluarga saya ke sini dengan uang saya sendiri. Setelahnya saya bisa kerja di tempat kita sekarang bekerja. Saya sangat ambisius dan saya melanjutkan untuk jenjang S2 hingga saya bisa seperti sekarang ini. Saya membiayai keluarga saya yang si Klaten. Saya buatkan warung kelontong agar ibu saya bisa berjualan. Kakak saya dan istrinya kerja sebagai buruh pabrik. Bapak saya, saya belikan sawah untuk beliau urus, juga beberapa hewan ternak untuk dirawat. Saya senang sudah membangkitkan keluarga saya, Ra."

Aku tak tahu lagi. Kupeluk lelaki ini dengan erat. Aku bangga dengan Mas Argi. Dibanding hidupku yang berada di keluarga berkecukupan. Papa seorang manajer keuangan di salah satu BUMN sedang mamaku seorang PNS di Badan Pusat Statistik. Hidupku tak perlu bersusah-susah. Kuliah juga tinggal kuliah. Aku lulus Universitas swasta dengan biaya yang cukup menggunung. Rasanya aku malu pada Mas Argi.

"Mas, orang tua saya tak pernah memandang orang melalui status sosial keluarga. Malah saya yakin, mereka bangga sama Mas. Seperti saya yang luar biasa bangga sama Mas Argi," ucapku sambil mendongak memberikan senyum tulus pada lelaki itu.

Mas Argi tersenyum begitu tulus, lalu mengecup dahiku. Rasa hangat menyusup ke dalam hatiku. Rasa nyaman dan aman yang Mas Argi berikan membuatku tak bisa lagi terlepas dari lelaki ini. Aku sadar, aku telah jatuh dalam dekapan Mas Argiantara Dewangga dengan segala kisah yang dia punya.

***

Hai hai semuanya.... Sorry kalau updatenya lama... Ada banyak hal... Sehingga baru bisa update sekarang.

Jangan lupa vote dan comments ya...

Shay

Sabtu, 25/01/20

Sela [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang