Sela Permintaan

5.9K 706 21
                                    

Begini rasanya menyidang atasan sendiri. Rasa ingin balas dendam karena sering dimaki dan hanya bisa mengangguk tanpa bisa membantah, sekarang keadaan seakan terbalik. Andai bisa kuingin tertawa jahat saat ini. Kulihat wajah Mas Argi yang duduk di seberang meja menghadapiku yang diapit kedua orang tuaku tampak begitu dibuat setenang mungkin, padahal wajahnya tampak pucat.

"Nak Argi bisa diulangi yang tadi? Tadi belum ada Rara." Suara papa di sampingku membuatku menahan tawaku.

Kulihat Mas Argi mengembuskan napasnya. "Om, Tante, Rara, saya di sini ingin mengutarakan niat saya," jeda beberapa saat. "Saya ingin mengajak Rara untuk serius dalam berhubungan. Saya di sini secara pribadi meminta izin kepada Om Herman untuk menikahi anak perempuan Om, Shira Ariatih."

"Om dan Tante secara pribadi bisa menerima niat baik kamu kepada anak kami, tapi untuk keputusan saya serahkan kembali kepada Rara, karena dia yang akan menikah," kata papa yang membuatku tersenyum.

Mas Argi kini tampak menatapku dengan tatapan pasrah dan menyerahkan semuanya padaku. "Bagaimana, Ra? Apa kamu bersedia menikah dengan saya? Menghabiskan sisa waktu kamu bersama saya, saling menjaga, percaya dan membahagiakan? Apakah kamu bener-bener siap untuk meraih kebahagiaan bersama saya?"

Aku jelas akan menjawab bersedia, tapi sepertinya aku harus sedikit berdrama. Ayolah, momen seperti ini tak akan datang dua kali, di mana seorang atasan yang hobi membentak sekarang seolah sedang mengharapkan dan memohon padaku.

Aku mengembuskan napasku. "Mas, tadi saya sedikit berpikir, menimbang tentang keputusan terbaik. Jujur, saya tadi merasa ada beban berat dan kebimbangan yang luar biasa untuk melangkah lebih jauh atau mundur untuk berhenti sejenak."

Aku diam, memasang raut seolah berpikir. Sedikit sentuhan drama ini membuat wajah Mas Argi benar-benar pasrah. Sungguh aku ingin mengabadikan momen wajah Mas Argi yang masih seperti aku gantung ini. Rasain atasan rese.

"Banyak hal yang saya pertimbangkan tadi. Apakah saya akan bahagia? Apa saya mampu berbakti pada Mas Argi? Apa semua akan lancar? Apa saya mampu menanggung beban bersama Mas Argi? Saya takut jika hanya rasa sakit yang nantinya kita hadapi, Mas." Aku menarik napasku dalam untuk menambah kesan dramatis dan ketegangan.

"Semua keputusan ada di kamu, Ra. Saya akan menerima dengan ikhlas apa yang kamu pilih. Mundur atau melangkah bersama saya itu keputusan kamu, Ra. Saya hanya bisa meminta dan memohon padamu, dan akan berusaha memberikan kebahagiaan kepadamu nantinya. Saya tidak bisa menjanjikan untuk selalu bahagia, tapi saya akan berusaha membahagiakan. Tapi saya harap nantinya saat dalam keadaan terpuruk nanti akan kita hadapi bersama. Karena dalam kehidupan tak selalu ada bahagia," ucap Mas Argi yang membuatku merasa diinginkan oleh seorang laki - laki. Tak memaksa untuk menerima dan kebanyakan janji. Rasa haru menyusup ke dadaku.

Aku menyembunyikan senyumku. "Untuk itu, setelah pertimbangan dan sedikit pembicaraan bersama Dyon, saya menerima permintaan Mas Argi. Saya mau menikah dengan, Mas Argiantara Dewangga."

Kulihat senyum kelegaan di wajah Mas Argi. Lelaki itu menatapku lekat, lalu memberikan senyum tulus. Sungguh calon suamiku ini tampak begitu tampan. Rasanya ingin aku karungin biar tidak kabur.

"Jadi, Nak Argi kapan berencana ke sini lagi secara resmi dan kekeluargaan?" tanya mama yang membuatku menatap mama sedikit protes.

Mas Argi kembali mengulas senyumnya. Ya ampun jangan keseringan senyum Mas. Aku nggak kuat. "InsyaAllah, kalau Tante dan Om mengizinkan, minggu depan saya ajak Rara ke Klaten dulu untuk bertemu orang tua saya, Tante. Setelah itu, kalau boleh, dua minggu dari sekarang saya bersama keluarga saya akan sowan ke sini, Om, Tante."

Aku melebarkan mataku. Mas Argi benar-benar luar biasa. Inisiatif dia itu membuatku berdecak kagum. Semua sepertinya sudah dia persiapkan dengan matang. Beda sekali denganku yang hanya bisa mengikuti alur.

Aku menoleh ke samping untuk melihat mimik wajah mama dan papa. Mama tampak puas dan tersenyum, sedang papa tampak menahan senyum. Mas Argi sepertinya tahu bagaimana membuat calon mertua bangga dengannya.

"Kalau memang sudah berniat baik, memang harus disegerakan. Saya ikut bagaimana baiknya saja. Kalian saja yang atur!" kata papa benar-benar merasa percaya pada Mas Argi. "Oh iya, bagaimana dengan aturan tentang hubungan di kantor kalian? Kan Nak Argi ini atasan Rara."

Mas Argi tersenyum. "Kami sudah membicarakan, Om. Saya terserah Rara, kalau Rara masih ingin kerja di sana, saya yang akan resign dan mencari pekerjaan baru."

Aku segera menimpali, "Rara yang akan resign. Mas Argi juga sudah akan promosi menggantikan Pak Shaka yang akan menjadi kepala cabang."

"Kamu benar-benar yang mengalah, Ra?" tanya papa yang membuatku mengangguk yakin. "Semua saya percayakan pada kalian, dan Nak Argi benar-benar pencapaian yang luar biasa."

Aku dapat melihat pancaran kebanggan papa pada Mas Argi. Mas Argi juga tampak tersenyum tulus dan bahagia. Pancaran wajah kedua laki-laki ini benar-benar tampak bahagia.

Papa berdiri. "Om permisi dulu ya, Nak Argi! Ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan."

"Iya, Om, silakan."

Mama ikut berdiri. "Mama juga lihat Dyon dulu, Ra. Kamu ajak ngobrol Nak Argi ya!"

Kini tinggal aku dan Mas Argi yang di ruang tamu. "Tegang banget, Mas."

Lelaki itu terkekeh. "Tadi ada yang bikin saya khawatir. Takut ditolak. Tapi saya sadar pesona saya tak akan ada yang bisa menolak."

"Mas, kalau punya topi jangan dipakai ya! Takut rusak karena nggak muat lagi dipakai." Sikap terlalu percaya diri manusia satu ini sudah keluar. Kesal memang.

Mas Argi berdiri menghampiriku dan kini duduk di sampingku. Tangan lelaki itu memeluk bahuku. Sungguh jantungku sudah tidak aman. Laki-laki ini benar-benar telah membuatku jatuh cinta.

"Mas sadar nggak sih, tadi saya ngerjain, Mas biar deg - degan. Senang rasanya." Aku tak bisa menahan tawaku saat mengingat wajah pucat Mas Argi.

"Tunggu pembalasanku hari Senin, Shira Ariatih!" Suara Mas Argi membuatku merinding. Aku menoleh ke arah Mas Argi yang kini menatapku tajam. Nyaliku menciut.

"Mas," cicitku seraya meneguk ludahku.

Mas Argi tiba-tiba tertawa begitu lepas yang membuatku kebingungan. "Kamu lucu, Ra," katanya di sela tawanya. "Jangan cemberut, saya hanya bercanda!"

Aku menahan senyumku. Tak tahan aku tersenyum dan memukul bahu lelaki ini. "Jangan ancam yang bersangkutan dengan pekerjaan dong, curang!"

"Kamu cantik, Ra. Selalu cantik. Sejak awal kamu menarik perhatian saya. Tapi saya selalu menampik, hingga saya benar-benar kagum sama loyalitas kamu, effort kamu, tawa kamu, candaan kamu, kekesalan kamu pada saya. Semuanya saya hanya bisa lihat dari jauh, hingga saya mempunyai keyakinan untuk mendekati kamu dan pada saat saya punya kesempatan, saya berani untuk mendekati kamu, Ra," aku Mas Argi yang membuat pipiku memanas.

"Mas, kalau aku minta cara panggilnya jadi aku, gimana? Aneh Mas Argi ngomong, 'saya' mulu."

Mas Argi tampak tersenyum. Dia kok jadi sering tersenyum sih. Lelaki itu kini mengacak rambutku, lalu hal yang membuatku membelalakan mata adalah saat lelaki itu mengecup pelipis kananku.

"Tentu, Sayang."

***

Iya, Sayang... Eh.

Selamat malam Minggu para jomlo...

Halohalo... Gimana part ini?
Komen dong

Thanks yang udah mau membaca cerita ArgiantaRatih wkwkw

Shay
Sabtu, 08/02/20

Sela [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang