Sela Kecemasan

6.6K 666 13
                                        

Pernah tidak kalian merasa kehadiran kalian tidak berguna dan tidak memiliki manfaat sama sekali? Kalau pernah, ini yang aku rasakan saat menjalani hubungan dengan Mas Argi. Aku masih terdiam di dalam kamar tidur sambil melamun menatap atap apartemen ini.

Aku merasa hubunganku dan Mas Argi mulus seperti jalan tol. Jarang ada cek - cok, jarang berantem, jarang salah paham. Mas Argi selalu selangkah di depanku. Dia akan menjawab semua yang kuragukan. Aku di sini hanya bisa mengangguk, menurut tanpa perlu berpendapat karena semua yang aku inginkan sudah dipenuhi Mas Argi.

Entah ini hubungan yang sehat atau tidak. Yang jelas, aku tak pernah bisa menolak semua yang diberikan Mas Argi. Setiap kali ingin mendebat, Mas Argi sudah melakukan apa yang kuingin tanpa aku bicara jadi tak ada yang bisa didebat.

Hari ini, hari kebebasan bagi para cungpret sepertiku ini. Hari Sabtu. Aku dan Mas Argi berencana mengunjungi rumah orang tuaku pukul sepuluh nanti. Sekarang sudah pukul delapan, tapi aku masih asyik rebahan sambil melamun seperti ini. Semalam aku sudah mengabari mama seperti permintaan Mas Argi untuk mengabari orang rumah.

Aku mendesah lelah. Apa hubungan seperti ini yang aku inginkan? Apa Mas Argi benar-benar orang yang aku inginkan? Apa nanti tetap akan selancar ini? Masih banyak pertanyaan yang membuatku ragu untuk maju.

Dulu saat aku bersama Gamilang, banyak masalah yang menjadi kerikil dalam hubungan kami. Sering cek - cok, sering debat masalah ini dan itu, sering saling teriak karena tak sepaham, sering berdebat tentang hal tak penting. Dulu masalah tempat makan saja menjadi ribet dan penuh perdebatan karena kami tak bisa menentukan.

Andai saja ilmu statistik yang kupelajari bisa untuk menghitung tingkat kegagalan dalam hubungan dengan eror lima persen, tapi nyatanya, statistik tak bisa digunakan untuk analisis perasaan seperti ini. Di statistik diajarkan ilmu peramalan, tapi ilmu itu benar-benar tak bisa untuk meramal masa depan yang berhubungan dengan perasaan. Nyatanya perasaan tak senyata data yang bisa diuji validitasnya.

Tapi statistik itu seperti hidup, tak pasti. Selalu ada kemungkinan eror. Dalam statistik pasti akan ada tingkat eror yang digunakan. Di statistik selalu ada nilai toleran, seperti halnya hidup, selalu ada hal tak terduga, tak ada yang pasti. Nilai nol tak berarti harus nol, statistik itu tidak eksak tak kaku seperti matematika, statistik itu fleksibel. Hidup memang harus fleksibel, bisa menyesuaikan bukan. Seperti hubungan, kita harus bisa menyesuaikan dua kepala menjadi satu.

Sepertinya aku terlalu banyak berceramah atau sedang membagikan materi kuliah sampai lupa sekarang sudah pukul sembilan, yang berarti aku harus bersiap - siap sebelum Mas Argi datang untuk menjemput.

Aku segera bangkit dari kasur untuk mandi dan dandan. Selesai dengan segala urusan aku melihat jam dinding yang menggantung. Sudah pukul sembilan lebih empat puluh, seharusnya Mas Argi sudah datang. Aku menunggu di ruang tamu sambil menyalakan televisi. Menunggu itu membosankan.

Aku sampai sekarang masih memikirkan bagaimana hubunganku nantinya dengan Mas Argi. Ras takut gagal sungguh menggangguku. Aku takut untuk maju, tapi tak ada waktu untuk mundur. Rasa cemas dan pikiran macam - macam selalu saja datang.

Suara ketukan pintu membuatku sadar. Aku segera membuka pintu dan terlihat sosok Mas Argi dengan kemeja abu - abu lengan panjang serta celana bahan warna hitam.

"Masuk dulu, Mas!"

Lelaki itu melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kamu sudah siap? Kalau sudah langsung saja ya, Ra?"

"Sudah, Mas. Yaudah, saya ambil tas dulu." Aku segera masuk kembali ke kamar untuk mengambil tasku.

Setelah semuanya sudah siap, aku segera keluar dari gedung apartemen bersama Mas Argi. Sampai di dalam mobil kami hanya diam. Aku nyaman, tapi apakah ini hubungan yang normal? Tak ada debat, tak ada pertanyaan, tak ada suara.

Sela [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang