Jam makan siang membuatku lepas dari layar laptop yang sedari tadi menampilkan kode - kode bahasa pemrograman yang kadang membuat sakit kepala. Aku memundurkan kursiku, lalu menoleh ke arah Sena.
"Sen, sudah jam makan siang, kamu istirahat aja dulu, lanjut nanti!"
Lelaki itu menoleh. "Iya, Mbak. Ini nggak apa-apa ditinggal?"
Aku terkekeh. "Santai aja, Sen. Istirahat sana!"
Aku melihat Sena membereskan barang - barangnya dan bangkit. "Mbak Ratih nggak makan?"
Aku tersenyum, lalu mengangguk. "Mau bareng sama yang lain sekalian?"
"Boleh, Mbak?"
Aku tertawa. "Will, makan depan yuk!"
William kini telah berdiri dari kursinya. "Yuk! Lama nggak makan sama lo, Rat. Eh, Mbak Mira, Fia ikut nggak?"
"Gue ikut! Gue lagi nggak bawa bekal," sahut Fia yang biasanya membawa makanan sehatnya untuk diet.
"Tumben lo, Fi. Gue ikut juga ya? Jarang gue makan sama kalian," kata Mas Abra yang kali ini sepertinya bisa lengkap satu divisi.
"Akmal sekalian ya, biar lengkap nih satu tim!" seru William yang kini sudah keluar dari kubikelnya.
"Kurang satu nih, si Argi. Tapi nggak usah ajak Argi, nggak seru dia," celetuk Mbak Mira yang membuat kami semua tertawa.
"Kalau sama Mas Argi, gue nggak siap mental sih, Mbak. Dipelototin terus pasti," sahut William.
Aku menggelengkan kepalaku. Padahal orangnya sedang di luar, tetap saja ya. Di kantor Mas Argi memang jenis atasan yang menyebalkan dan dibenci bawahannya, termasuk aku.
Dulu aku memang kesal memiliki atasan yang memiliki sikap kaku dan galak. Dia jarang berinteraksi secara personal dan jarang bercanda. Aku dulu berpikir dia adalah atasan yang sombong, tapi setelah kenal lelaki itu secara personal, pada hujan sore beberapa bulan lalu, aku sadar, Mas Argi benar-benar sosok yang berbeda. Dia kaku begitu bukan karena sombong, tapi dia memang sosok yang memikirkan dan mencari uang untuk keluarganya, dan aku tahu, Mas Argi sosok yang introvert.
Saat kami semua akan membuka pintu untuk keluar dari ruangan, sosok yang tadi sempat dibicarakan tadi akan masuk. Lelaki itu menatapku sejenak yang sedari tadi memang dirangkul oleh William. Aku lebih dari tahu, jika lelaki itu cemburu.
"Kalian mau ke mana ramai - ramai gini?" tanya Mas Argi dengan suara berat yang tak aku dengar beberapa jam ini.
"Mau makan siang, Gi. Baru balik?" sahut Mbak Mira santai.
Lelaki itu mengangguk. "Saya boleh gabung?"
Rasanya aku ingin tertawa terpingkal - pingkal sekarang. Pasti mereka tak berani menolak dan rencana mereka gagal total. William melepaskan rangkulan di bahuku saat mata Mas Argi benar-benar menyorot tajam bak laser yang membelah - belah tangan William.
"Boleh, ini sekalian penyambutan dan perkenalan karyawan baru," jawab Mas Abra dengan wajah setenang mungkin.
Aku melirik Mbak Mira yang sudah menggerutu. Sungguh raut kesal terlihat jelas di wajah Mbak Mira dan William. Mas Argi rautnya masih lempeng - lempeng saja, heran aku, ke mana wajah songong dia itu?
"Mana karyawan barunya?" Sena dan Akmal langsung tersenyum sebagai tanda hormat. Mas Argi mengangguk. "Nama kalian siapa?"
"Saya Sena, Mas."
"Saya Akmal."
Mas Argi mengangguk, lalu menatapku. "Ini semua kamu yang mentorin?"
Aku menggeleng. "Tidak, Mas. Sesuai sara Mas Argi kemarin, saya hanya mementori Sena, untuk Akmal, dia dengan William."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sela [Completed]
Chick-LitCompleted. sela /se·la /n 1 tempat (ruang) di antara dua benda (barang) ; 2 celah ; 3 sesuatu yang tersisip (terletak) di antara benda-benda dan sebagainya Ratih mempunyai prinsip tak akan mengulang kembali pada masa lalu, tapi prinsipnya seolah han...