Sela Pertanyaan

7.6K 822 19
                                    

"Ra, kamu mau berangkat bareng Mama sama Papa atau sendiri?" tanya mamaku yang kini berada di ambang pintu kamarku.

Aku menoleh. "Rara berangkat sendiri saja, Ma. Nanti sama teman."

Mama masuk ke kamar, lalu berjalan mendekat ke arahku. "Teman? Siapa? Gamilang? Atau Arka?"

Aku tersenyum. "Bukan Gamilang atau Arka, Ma. Ini teman kantor. Lagian nih, Ma, Arka sama Gamilang sudah lama banget itu."

"Setahu Mama 'kan cuma mereka, yang pernah kamu ajak ke rumah ya, mereka." Sepertinya aku paham akan ke arah mana pembicaraan ini.

Oh iya, Arka adalah temanku yang sempat dekat sebelum aku bekerja di perusahaan yang sekarang. Sebenarnya tidak dekat dalam artian pendekatan seperti Mas Argi, Arka ya sekadar teman dan sering aku jadikan korban untuk kuajak saat acara-acara seperti kondangan. Tapi sudah semenjak aku pindah ke perusahaan yang sekarang aku jarang bertemu dengan Arka, kami sama-sama sibuk. Apalagi Arka yang bekerja di bank, bisa dibayangkan bagaimana jamnya.

"Yang ini serius, 'kan? Ingat umur, Ra." Sesuai tebakan.

Aku menatap mama dengan lekat. "Rara sedang mencoba, Ma. Kalau cocok ya lanjut."

Mama menepuk bahuku. "Kamu ini kalau dikasih tahu sukanya nyahut aja."

Memang ya jiwa ibu-ibu begitu ribet. Jawab salah nggak dijawab dikatain bisu. Anak yang dikejar umur memang selalu salah. "Ma, apa salahku sih, Ma? Serba salah terus."

"Salah kamu, sudah umur dua lima mendekati dua enam masih saja jomlo." Untung mama, kalau bukan mungkin mulut nyinyirku akan keluar.

"Ma, itu ada tamu, katanya temannya Kak Rara," teriak adikku dari luar kamar.

Mama langsung berdiri dan keluar dari kamarku tanpa bicara apapun. Aku hanya bisa terbengong melihat tingkah mama. Tamunya siapa yang semangat siapa. Aku memastikan dandananku kembali, lalu memasukkan ponsel ke dalam sling bag.

Aku berjalan keluar dari kamar, lalu menuju ke ruang tamu. Aku bisa melihat mama, papa dan juga Mas Argi yang kini tersenyum ke arahku. Senyum formal yang sering dia tampilkan di kantor. Mas Argi hanya sesekali tersenyum lepas, dan akan menampilkannya begitu tipis.

Aku segera menghampiri mereka dan duduk di samping Mas Argi. "Mecet tadi, Mas?"

"Lumayan, biasa hari Minggu."

Papa berdehem. "Dyon mana? Ayo segera berangkat, keburu telat."

"Mama panggil dulu, Pa." Mama segera menuju ke kamar adikku satu-satunya itu.

"Kamu sudah siap, Ra? Kalau sudah, kamu ajak Nak Argi dulu saja. Kasihan kalau harus menunggu," titah papa yang kujawab dengan anggukan.

"Ayo, Mas!"

Mas Argi berjalan mengikutiku keluar. Kami segera masuk ke mobil hitam milik Mas Argi. Mas Argi tampak menatapku cukup lama dan intens. Ditatap dengan setajam itu rasanya benar-benar seperti sedang ditusuk hingga membuat jantungku berulah.

"Kamu selalu terlihat menawan di mata saya, Ra." Kampret memang mulut Mas Argi berhasil membuat jantungku ingin lepas sekarang.

Aku memalingkan wajahku yang terasa panas. Wanita memang lemah dengan pujian. "Mas, nggak cocok banget deh ngomong gitu."

Lelaki itu terkekeh lalu menginjak pedal gas untuk menjalankan mobilnya meninggalkan pekarangan rumahku. Sungguh dia kenapa terlihat sangat mempesona dengan balutan kemeja batik seperti ini. "Kamu tahu saya akan mengutarakan apa yang ada di pikiran saya. Saya bukan orang yang suka membual."

Ya Allah, jika memang Mas Argi ini ada versi yang mulutnya tidak pedas dan tingkat narsisnya berkurang sedikit saja, dia sudah akan aku gilai setengah mati. Tapi ini Mas Argi yang kadang bersikap masa bodo yang membuatku ragu pada lelaki ini jika sedang mendekatiku.

Sela [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang