Sela Kunjungan

5.4K 626 4
                                    

Sabtu pagi aku dengan kakak beradik ini sudah melakukan perjalanan menuju ke Klaten. Cukup sekitar satu jam dari hotel tempat kami menginap, kami kini telah tiba di depan rumah sederhana yang aku yakini milik orang tua Mas Argi.

"Ayo turun, Mbak!" ajak Winda yang membuatku tersentak, karena masih memandangi rumah milik orang tua Mas Argi.

Aku tersenyum. "Iya."

Aku melihat Winda turun terlebih dahulu, Mas Argi masih setia duduk di bangku kemudi. Aku melepas sabuk pengaman dan menatap Mas Argi yang hanya diam.

"Kenapa, Mas?"

Lelaki itu menoleh ke arahku. "Kamu nggak kaget lihat keadaan keluargaku?"

Aku terkekeh. "Mas, dari semua ceritamu, aku paham. Aku bangga sama kamu dan keluargamu."

Lelaki itu tersenyum, lalu mengacak rambutku. Aku meleleh. Ini manusia ganteng banget. Senyumnya manis bikin diabetes. Aku di masa lalu pernah melakukan kebaikan apa ya, sampai dapat calon suami sesempurna ini?

"Kamu selalu membuat aku tertarik pada apapun yang kamu lakukan, Ra. Aku sepertinya sudah benar-benar jatuh dalam pesonamu." Aku membelalakkan mataku. Ini beneran Mas Argi yang ngomong? Manusia lempeng itu? "Ayo keluar, sudah ditunggu bapak sama ibu tuh!" katanya dengan santai sedang jantungku sudah tidak berada di tempatnya lagi.

Aku segera menyusul Mas Argi yang sudah terlebih dahulu turun dari mobil dan menghampiri sepasang suami istri yang aku yakini sebagai orang tua Mas Argi. Aku mengikuti Mas Argi yang mencium tangan orang tuanya.

"Bu, Pak, ini Rara yang pernah Winda ceritakan ke Ibu dan Bapak," jelas Mas Argi dengan logat medok jawa yang begitu kental.

"Saya Shira Ariatih, Bu, Pak," timpalku sambil tersenyum.

"Walah, ayu tenan." Hanya itu yang aku pahami dari apa yang ibu Mas Argi ucapkan, aku tidak tahu apa kelanjutan kalimatnya yang hanya bisa aku balas dengan senyuman.

"Bu, Rara nggak bisa bahasa Jawa," kata Mas Argi menjelaskan pada ibu yang sepertinya bertanya padaku dalam bahasa Jawa.

"Waduh, maaf nak Rara. Kebiasaan Ibu pakai basa Jawa. Kamu teman kerjane Ian?" tanya ibu dengan antusias.

Aku mengangguk. "Iya, Bu. Saya salah satu bawahan Mas Argiantara."

"Masa mau ngobrol di luar, ayo masuk aja! Yan, ajak calonmu masuk!" perintah bapak Mas Argi yang terdengar begitu berwibawa.

"Nggih, Pak," jawab Mas Argi yang kemudian menatapku. "Ayo Ra, masuk!"

Aku mengangguk dan mengikuti Mas Argi masuk ke rumah. Rumah milik keluarga Mas Argi ini cukup sederhana dengan tembok bercat hijau dan berlantai semen. Kursi ruang tamu terbuat dari kayu yang tampak sederhana tapi begitu nyaman. Desa tempat keluarga Mas Argi tinggal ini begitu asri dan nyaman, udara terasa segar dan dingin. Depan rumah Mas Argi juga tadi begitu rindang dengan banyaknya pohon yang ditanam.

"Maaf ya, Nak Rara, rumah kami berantakan," kata bapak Mas Argi yang terdengar berwibawa.

Aku mengikuti Mas Argi duduk di kursi kayu, aku duduk tepat di samping Mas Argi dan berhadapan dengan ibu dan bapak. Sempat terjadi keheningan, sampai Winda datang membawa nampan berisi teh yang masih mengepul.

"Ayo diminum dulu, Nak Rara!" suruh ibu yang juga menyesap teh hangatnya. "Bagaimana Klaten?"

Aku tersenyum. "Nyaman, Bu. Masih cukup asri dibandingkan Jakarta yang penuh polusi."

Bapak berdehem. "Begini kondisi keluarga kami, Nak. Bukan orang punya, kami bisa hidup seperti ini saja sudah sangat bersyukur, semua dibantu sama Ian." Bapak menghela napasnya. "Saya dengar kalian niat serius dan akan menikah. Tapi kamu harus tahu, Ian ini masih memiliki beban tanggungan membiayai Windayu dan keluarga ini, apa kamu tidak keberatan, Nak?"

Aku tersenyum mengerti. "Pak, Bu, saya tahu apa yang menjadi tanggungan Mas Argiantara, saya dapat memahami dan mengerti, dan saya tidak keberatan sama sekali, malah hal itu yang membuat saya selalu kagum dan bangga hingga saya serius dalam menerima pinangan Mas Argi. Saya sebagai istri nantinya akan membantu dan mendukung apa yang baik untuk Mas Argi dan keluarga dan mengingatkan jika Mas Argi menyimpang. Dan menikah itu bukan tentang diri saya, tapi menyatukan dua keluarga menjadi satu, keluarga Mas Argi keluarga saya juga begitupun sebaliknya. Saya menerima Mas Argi, berarti saya menerima keadaannya, keluarganya juga sebagai bagian hidup saya, Pak, Bu."

Aku sebenarnya begitu terkejut, aku dapat bicara sepanjang itu. Semua mengalir begitu saja. Bahkan jika disuruh mengulang kalimat itu, aku jelas tak akan mampu. Semua seakan alam bawah sadarku yang bilang. Semua begitu lancar tanpa gugup.

Aku menatap Mas Argi yang menatapku dengan begitu lembut, aku merasa ini pertama kalinya dia menatapku begitu teduh dan lembut. Aku mengalihkan tatapanku ke arah ibu dan bapak. Mereka tersenyum, lalu berdiri menghampiri kami. Ibu memelukku yang membuatku terkejut, bapak menepuk bahuku pelan lalu menepuk bahu Mas Argi.

"Bapak dan Ibu merestui kalian berdua," ucap bapak tegas. "Argiantara, kamu jaga calon kamu dan usahakan bahagiakan dia! Jangan buat dia kecewa!"

Mas Argi mengangguk, lalu meraih tangan bapak dan menciumnya. "Terimakasih, Pak. Amanat dari Bapak dan Ibu akan Ian usahakan dengan sebaik mungkin."

Perasaan haru menyergapku. Tanpa kusadari, aku menitihkan air mataku. Ibu mendekapku semakin erat dan menepuk punggungku pelan. Aku merasa ketulusan dari usapan ibu. Rasanya ada yang membuncah dalam dadaku saat diterima dengan baik di keluarga Mas Argi. Ini luar biasa.

Ibu melepaskan pelukannya. Lalu menatapku. "Kamu istirahat dulu, Nak! Di kamar Winda. Ibu masak dulu, nanti kalau sudah matang Ibu panggil."

"Saya bantu masak ya, Bu?" pintaku dengan semangat.

"Nggak usah, Nak! Kamu istirahat saja!"

Aku menggeleng. "Bu, saya sudah istirahat, sekarang saya bantu Ibu masak ya?"

Akhirnya ibu mengangguk, aku menaruh tasku ke kamar Winda diantar oleh Mas Argi. Sampai di depan kamar Winda, Mas Argi menahanku, sepertinya ingin mengajak ngobrol.

"Bagaimana perasaan kamu saat ini?" tanyanya yang membuatku mengulum senyum.

"Not defined. I am happy, i feel free and i dont know to describe my feelings right now." Aku benar-benar tak bisa mendeskripsikan perasaanku ini. Rasanya begitu apa ya namanya? Ah, kalian akan tahu saat mendapatkan restu dari orang tua untuk menikah dengan orang yang kamu mau.

Mas Argi mengecup keningku yang seketika membuatku membeku. "Terimakasih, Sayang."

Mas Argi telah berlalu dan aku masih mematung. Ini bukan pertama kalinya, tapi kenapa diri ini benar-benar bereaksi seperti ini? Kenapa jantung ini berdegup dengan begitu kencang? Mas Argi kenapa kamu bisa membuatku membeku seperti ini? Dan kenapa efekmu begitu dahsyat? Mas Argi kembali berhasil membuatku jatuh lebih dalam lagi.

"Mbak Rara kenapa bengong di sini?" Suara Winda membuatku tersentak dari keterpakuanku.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Eh, ini mau naruh barang, Win."

Winda tampak tersenyum jahil. "Habis diapain Mas Ian, Mbak sampai bengong gitu?"

***

Hai hai hai... Sudah hari Jumat ternyata...heheheh.... Maaf Rabu gak sempat update karena kuliah online membuat tugas membludak.

Shay

Jumat, 20/03/20

Sela [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang