Sela Pengakuan

6.2K 635 5
                                    

Aku baru saja menemui Pak Shaka dan menyerahkan surat pengunduran diri, namun beliau menolak untuk saat ini, paling tidak setelah beliau pindah yang artinya sekitar empat bulan lagi. Aku sempat menjelaskan tentang hubunganku dengan Mas Argi, namun beliau meminta dengan sangat untuk mengundur rencana pernikahan sampai paling tidak bulan Juni.

Aku duduk di kubikelku sambil sesekali melirik ruangan Mas Argi yang tertutup. Rasanya ingin sekali menghampiri ruangan itu dan bicara ke Mas Argi.

Aku merasa Fia menggeser kursinya hingga masuk ke kubikelku. Aku menatapnya dengan kesal. "Kenapa, Fi?"

"Lo kenapa? Kangen sama Mas Argi?"

Aku mendengkus. "Apaan sih, gaje lo."

"Lo dari tadi ngelihatin ruangan Mas Argi mulu. Kenapa? Ada masalah?" tanyanya setelah helaan napasnya terdengar.

"Gue habis dari Pak Shaka nyerahin surat resign dan diacc bulan Juni. Bingung gue ngomong ke Mas Argi kalau rencana nikahnya mundur ke bulan Juni," kataku dengan lemah.

Aku dan Mas Argi merencanakan pernikahan sebelum bulan Ramadhan, sekitar satu setengah bulan lagi, tapi keadaan seperti ini membuat kami sedikit lebih susah. Perkataan Pak Shaka yang menyuruhku untuk mengundur acara pernikahan benar-benar membuatku bingung. Sebenarnya aku tak begitu masalah, tapi entah bagaimana dengan Mas Argi nanti.

"Mau ke sana?" tanya Fia sembari melihat ruangan Mas Argi.

Aku menggeleng. "Nanti aja setelah kerja gue ngomongnya."

Fia menepuk bahuku, lalu kembali ke kubikelnya. Aku mencoba kembali fokus ke data yang akan aku analisis. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat hingga sekarang sudah memasuki jam makan siang. Aku kembali menatap data yang belum aku selesaikan. Cukup tanggung jika ditinggal makan siang. Lebih baik aku kembali melanjutkan menganalisis saja, lagi pula, aku juga sedang berhalangan untuk melaksanakan ibadah salat.

"Ikut makan bareng nggak, Rat?" teriak William yang membuatku mendongak.

"Nggak ikut, Will. Nanggung ini."

Tanpa repot membalas, William langsung melesat pergi bersama Mas Abra dan Mbak Mira. Kini di ruangan ini tinggal aku dan Fia yang katanya sedang diet sehat. Dia membawa bekal berisi sayuran.

"Rat, nggak makan? Atau sudah pesen?"

Aku menggeleng. "Nanti aja, ini masih nanggung, Fi."

"Setahu gue, lo punya sakit maag, 'kan? Siniin hape lo, gue pesenin!" ujarnya yang begitu gemas.

Aku terkekeh. "Nanti aja, nggak terlalu parah maag gue."

Akhirnya gadis cerewet itu menyerah juga. Aku terus berkutat dengan data, hingga sesosok lelaki dengan mata tajamnya sudah berdiri di depan kubikelku. Dia menatapku begitu tajam.

"Mas Argi, kenapa?" tanyaku dengan pelan.

"Makan!" katanya sambil menyerahkan kantong plastik yang kuyakini berisi makanan.

Aku mengerjapkan mataku. "Mas Argi sudah makan?"

Lelaki itu menggeleng, lalu menarik kursi milik William dan membawanya untuk duduk di sampingku. "Kita makan bareng!"

Aku mendengar suara tawa kecil di kubikel Fia, aku meliriknya lewat atas pembatas. Dia terlihat cekikikan sambil memakan salad sayurnya. Aku meliriknya tajam. Fia tiba-tiba tersedak dan rasanya aku ingin sekali mengejeknya.

"Berasa jadi setan, mending makan di pantry aja deh," ucapnya yang langsung pergi begitu saja.

Aku ingin protes, tapi dia sudah menghilang dari ruangan ini. Sekarang hanya ada aku dan Mas Argi yang sedang memakan makanannya.

Sela [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang