Sabtu malam aku terduduk di ruang keluarga bersama Mas Argi. Hanya berdua. Ibu dan bapak sedang jaga di warung depan rumah. Biasanya cukup ramai jika setelah Maghrib. Winda sedang mengerjakan tugas di kamar. Kami sedang menonton televisi yang terasa membosankan dan akhirnya aku bermain ponsel. Mas Argi, lelaki itu sedari tadi lebih memedulikan laptop di pangkuannya.
"Bosan?" tanya Mas Argi yang membuatku menatapnya.
"Enggak," jawabku lalu kembali memainkan ponsel.
Aku merasakan Mas Argi memangkas jarak kami. Lelaki itu kini tepat duduk di sampingku tanpa jarak. Lalu tanpa aku duga lelaki itu memeluk bahuku kemudian mengelus kepalaku sebelum merebahkan kepalaku dibahunya. Aku merasakan Mas Argi mencium ubun - ubunku. Sekarang aku hanya bisa terdiam dengan jantung yang berdebar menggila.
"Besok liburan ya. Mau ke mana?" tanya Mas Argi yang kini sudah menaruh laptopnya dan berganti memainkan ponselku.
"Aku nggak tahu daerah sini, Mas. Harusnya Mas Argi yang milih, lah."
"Winda!" teriak Mas Argi memanggil Winda yang kamarnya ada di sebelah Kanan tempat kami duduk.
Tak lama, aku melihat Winda keluar dari kamarnya dan bergabung dengan kami. Gadis itu sempat menepuk tangan Mas Argi yang melingkar di bahuku.
"Mas, kalau mau mesra - mesraan jangan di depanku dong!" ujar Winda dengan wajah kesal yang membuatku tersenyum.
Mas Argi melepaskan pelukannya. Aku menegakkan badanku dan menggandeng lengan Winda. "Tadi Mas Argi ngajak ngajak liburan besok, Win. Enaknya ke mana ya?"
Winda tampak berpikir sejenak. "Ke umbul Cokro aja, Mbak. Bagus. Enaklah suasananya. Nggak jauh juga."
"Ya udah ke situ. Kasih tahu Bapak, Ibu, Mbak Retno sama Mas Bima ya, Win. Besok ke sana. Jangan bangun kesiangan!" perintah Mas Argi yang diangguki dengan malas oleh Winda. "Ya udah sana balik kamar!"
Winda menjawab dengan bahasa Jawa yang jelas aku tak paham, tapi dari ekspresi wajahnya, Winda menggerutu dan kesal pada kakaknya itu. Mas Argi hanya tersenyum memandang Winda kembali masuk ke kamarnya.
"Kamu besok bawa baju ganti ya! Kita renang." Aku menatap Mas Argi dengan penuh penyesalan.
"Mas, aku sedang datang bulan, nggak berani renang." Walau kata orang tidak apa - apa berenang, tapi tetap saja takut mewarnai air yg jernih.
Mas Argi mengembuskan napasnya, lalu dia tampak berpikir. "Ya udah kita besok ke Janti aja, makan - makan."
Aku hanya mengangguk. Tidak tahu seperti apa Janti itu. Pokoknya iya saja, percaya saja sama orang asli sini. "Iya, Mas. Nanti aku kasih tahu Winda tempatnya pindah."
"Nanti kalau ke Janti aku mau renang, kamu lihat aku renang ya!" Aku memelototkan mataku.
Aku menepuk bahu Mas Argi. "Ngapain lihatin? Buat apa pentingnya buat aku, Mas?"
"Biar kalau sudah sah kamu nggak kaget lihat badan aku." Benar-benar minta ditabok ini orang.
"Astagfirullah, Mas. Boleh nabok nggak sih?" kataku dengan jengah.
Mas Argi tersenyum, lalu mengacak rambutku dan merebahkan kepalanya di pangkuanku. Ini pertama kalinya lelaki ini menjadikan pahaku sebagai bantalannya. Sebenarnya aku merasa risi dan tak nyaman serta jangan lupakan jantungku yang kini mungkin sudah berpindah tempat karena kencangnya debaran jantungku.
"Ra, pijitin kepalaku dong, agak capek!" kata Mas Argi yang sepertinya tak menyadari badanku yang sudah kaku.
Aku menggerakkan tanganku untuk memijit kepala Mas Argi dengan gerakan yang kaku dan jantung yang berdebar sangat cepat. Aku tidak akan terkena serangan jantung hanya karena perilaku Mas Argi yang seperti ini, 'kan? Kenapa lelaki ini benar-benar bisa membuat kinerja tubuh, otak dan hatiku luluh lantak dan sulit bekerja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sela [Completed]
Chick-LitCompleted. sela /se·la /n 1 tempat (ruang) di antara dua benda (barang) ; 2 celah ; 3 sesuatu yang tersisip (terletak) di antara benda-benda dan sebagainya Ratih mempunyai prinsip tak akan mengulang kembali pada masa lalu, tapi prinsipnya seolah han...