Aku menatap pintu kaca buram itu dengan geram. Aku sudah berusaha baik, tapi kelakuannya masih saja tak manusiawi. Aku masih heran dengan sikap lelaki itu, maka aku putuskan untuk marah juga pada lelaki yang sedang kerasukan iblis itu.
"Masih nggak mempan, Rat?" tanya Fia yang membuatku mendengkus.
"Heran gue, Fi. Dia marah - marah tanpa sebab yang jelas. Ini beneran perlu di rukyah nih."
William datang sambil menarik kursinya untuk duduk di sampingku. "Lo udah tanya masalahnya?"
"Belum gue tanya dia udah marah - marah dan bentak gue, Will. Gue harus gimana?" kataku dengan kesal.
"Coba lo ingat - ingat lo ngapain aja kemarin gitu yang kira - kira buat dia marah! Lo lupa telpon dia atau gimana gitu, Rat." William berkata dengan wajah seriusnya.
Aku terdiam sambil berpikir. Aku rasa tak ada yang salah dari kemarin. Malah lelaki itu yang lupa mengabariku jika ada rapat di luar. Aku heran, bagaimana cara berpikir laki-laki itu, kenapa terlalu ribet untuk dimengerti. Orang bilang, cewek itu ribet, tapi lelaki pada tidak sadar, dirinya juga suka ribet.
"Nggak ada, Will!" seruku dengan lelah. "Gue gantian ngambek aja deh, kesel gue! Masa bodoh dengan si iblis itu."
William menatapku dengan horor. "Kenapa cewek tuh menakutkan? Kenapa kalau cowok ngambek dia malah gantian ngambek! Memang semboyan cewek selalu benar itu, benar adanya."
"Gue dukung lo, Rat! Enak aja marah - marah nggak jelas. Gantian lo marah tahu rasa tuh laki!" seloroh Fia dengan semangat.
William tampak mengusap wajahnya. Rasanya aku ingin menertawakan lelaki satu ini. "Nggak gitu wahai para kaum wanita!" Lelaki itu menatapku dengan penuh selidik. "Ceritain, kemarin dari pagi sampai siang lo ngapain aja, ke mana aja, dan ketemu siapa aja!"
Aku menatap lelaki itu dengan penuh protes, tapi tatapan tajam dan enggan dibantah milik William membuat nyaliku menciut. "Gue kemarin di kantor, ngerjain analisis. Udah."
William masih menatapku dengan tidak puas. "Lo makan siang ke mana? Kemarin lo nggak sama kita - kita, lo berangkat duluan."
Mendengar pertanyaan dari William, seketika aku teringat kejadian kemarin. "Sama Gamilang, dia jelasin semuanya ke gue. Dan dia udah bener-bener ikhlas lepasin gue."
Seketika William berdiri dari tempat duduknya dengan mata berbinar seperti mendapatkan hadiah yang dia idam - idamkan. Aku kok bisa ya betah ngobrol sama manusia model William begini.
"Astaga, Ratih! Lo bego atau goblok sih? Ya itu masalahnya!"
Aku mengerutkan keningku. "Ya itu, terus? Emang Mas Argi lihat? Enggak, Will."
"Rasanya gue pengen larungin lo ke laut deh, Rat. Dugaan gue, Mas Argi lihat lo waktu sama Gamilang dan lo nggak lihat!" seru William dengan gemas.
"Jadi gue harus gimana?" tanyaku dengan bingung.
"Lo masuk ruangan laki lo, terus minta maaf dan jelasin semuanya!" kata William dengan geraman. "Gue capek denger Mas Argi jadi iblis tukang bentak."
Dengan tanpa perasaan, William segera menyeretku dan mengetukkan pintu kaca buram yang menjadi akses keluar masuk dari ruangan Mas Argi. Suara sahutan dari dalam, membuat William membuka pintu kaca itu dan menyeretku masuk.
"Mas, ini sudah bukan jam kerja lagi, ini Ratih mau bilang sesuatu dan saya keluar, karena tidak mau terlalu ikut campur!" kata lelaki itu yang langsung pergi begitu saja meninggalkanku berdua bersama William.
Aku masih berdiri di tengah ruangan, Mas Argi senantiasa duduk sambil memandangi layar laptopnya. Kami berdua sama - sama bungkam. Aku bingung untuk mulai menjelaskan dari mana. Masih ada rasa gengsi dan ego yang membumbung tinggi di dalam hatiku, jelas saja, aku merasa tidak melakukan kesalahan apapun, aku tak perlu minta maaf, sebelum lelaki itu menjelaskan apa kesalahanku.
Helaan napas terdengar keluar dari mulut Mas Argi. Aku yakin dia juga merasa tak nyaman dengan kondisi seperti ini. Aku memainkan kuku tanganku. Keadaan di ruangan ini benar-benar tak enak. Panas rasanya, meski pendingin ruangan jelas menyala dengan kencang.
Dengan mengumpulkan keberanian, aku bersiap membuka mulutku. Aku menyiapkan hati dan mental, tak lupa aku menurunkan gengsi dan ego yamg sedari tadi mengalahkan kenyataan.
"Saya minta maaf, Ra, sudah marah - marah tidak jelas," ucapan itu jelas bukan keluar dari mulutku, tapi mulut Mas Argi.
Aku menatap lelaki itu. "Harusnya aku yang minta maaf, Mas. Aku salah. Bener kata William, ini semua karena kemarin aku makan siang sama Gamilang, 'kan?"
Aku melihat senyum di wajah Mas Argi. "Aku harusnya tanya baik-baik ke kamu, Ra, bukan malah marah - marah nggak jelas kayak tadi."
"Memang iya, Mas Argi tuh ngeselin," kataku yang kemudian duduk di hadapan lelaki itu.
"Kamu juga, makan siang sama mantan nggak bilang dulu ke aku, pakai peluk - pelukan lagi," kata Mas Argi yang kini sudah menampilkan wajah kesal yang tampak menggemaskan di mataku. Sepertinya mataku sudah rabun.
Besok sepertinya aku harus periksa mata. Masa iya, orang ngambek dan tipe orang lempeng seperti Mas Argi tampak menggemaskan. Aku menggelengkan kepalaku. Aku memang sudah gila.
"Mas, aku kemarin nggak sengaja ketemu Gamilang, dia katanya mau bicara dan menyelesaikan apa yang belum selesai, Mas."
"Terus pakai peluk - peluk?"
Aku terkekeh. "Itu bisa disebut pelukan perpisahan dan salam sebagai teman."
Lelaki itu masih tampak cemberut, aku berdiri dan menghampirinya, lalu memeluk lelaki yang sebentar lagi menjadi suamiku ini. Kucium pipinya, aku tahu jelas lelaki ini sudah membaik perasaannya.
"Aku merasa beruntung, Mas. Tadi harusnya aku yang minta maaf duluan, tapi malah Mas Argi dulu. Kamu tuh luar biasa, Mas."
Lelaki itu memegang leganku yang masih memeluk lehernya. "Aku salah, Ra. Harusnya aku bilang apa yang mengganggu pikiran aku, bukan membentak - bentak."
Rasanya sebahagia ini menemukan seseorang yang memahami kita dan tugasku sekarang memahami dia. Kalau boleh berharap, mau secepatnya saja aku nikah sama Mas Argi biar bisa aku peluk - peluk setiap saat.
Kurasakan kepala Mas Argi menoleh ke arahku. Lelaki itu tersenyum yang tampak menyejukkan mataku. Aku benar-benar sudah jatuh dalam pesonanya. Lelaki yang tak pernah kuduga akan menjadi bagian dalam hidupku.
"Ra, bisa nggak, kita nikah sekarang aja?" bisik Mas Argi yang entah bagaimana aku merasa ini bukan hal baik.
Kulepaskan pelukanku padanya. "Mas, nggak boleh aneh - aneh!"
Lelaki itu tergelak. Dia bangkit dan menghampiriku yang di belakangnya, lalu memelukku dengan erat. "Aku masih bisa tahan kok, Ra. Jangan takut kebablasan!"
"Empat bulan lagi, Mas nikahnya. Lumayan lama ya," kataku yang masih berada dipelukan lelaki itu.
Lelaki itu menghela napasnya. "Kalau bisa bulan depan, sudah pasti aku lakuin bulan depan, Ra."
"Mas Argi sudah benar-benar nggak marah, 'kan?"
Lelaki itu menggeleng. "Aku nggak bisa lama - lama marah sama kamu. Aku sesayang itu ke kamu."
Ya ampun, kenapa calon suamiku ini begitu manis. Mas Argi, bawa aku le KUA sekarang! Aku mau nikah sekarang!
***
Sabar Ratih... Jangan buru - buru...
KUA sudah tutup, besok aja nikahnya ya.Shay
Rabu, 03/06/20
![](https://img.wattpad.com/cover/205824847-288-k607063.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sela [Completed]
ChickLitCompleted. sela /se·la /n 1 tempat (ruang) di antara dua benda (barang) ; 2 celah ; 3 sesuatu yang tersisip (terletak) di antara benda-benda dan sebagainya Ratih mempunyai prinsip tak akan mengulang kembali pada masa lalu, tapi prinsipnya seolah han...