Sela Rasa

8.5K 846 17
                                    

Hari Jumat sore adalah surga bagi para cungpret alias kacung kampret sepertiku ini. Besok sudah Sabtu yang berarti hari rebahan nasional. Tapi sepertinya realisasi rebahan hari Sabtu tidak benar-benar nyata, karena malam ini aku sudah ditelpon mamaku untuk pulang ke rumah. Kalau di rumah, aku yakin seratus persen pasti aku tidak bisa rebahan seharian penuh.

Mamaku selalu mengingatkan aku untuk inilah, itulah dan lain-lain. Belum lagi, hari Minggu ini sepupuku ada yang menikah, hari Sabtuku pasti akan diajak ke rumah Tante Tina untuk membantu persiapan pernikahan Virna. Padahal sih, aku yakin aku tidak berperan apapun di hari besok.

"Rat, mau pulang?" Aku tahu itu suara siapa yang bertanya di belakangku.

Aku membalikkan badanku. "Mau mangkal."

Lelaki itu terbahak. "Sensi banget sih lo. Gue cuma nanya, siapa tahu mau ikut gue clubing."

"Tawaran yang menarik, Will, tapi gue masih mau hidup saat sampai di rumah orang tua gue nanti."

William menaikkan sebelah alisnya. "Tumben lo pulang ke Cipayung."

"Dipaksa ratu, biasa ada hajatan di rumah tante gue."

William menyeringai. "Perlu gue temenin gak, buat ditanya, kapan nikah?"

Aku memukul bahu William. Lelaki itu hanya terbahak. Puas sekali dia menggodaku. "Gue belum siap ganti KTP, Will."

"Halah, alesan. Lo mah udah siap didepak dari KK orang tua lo."

"Pergi sana, lo!" usirku yang membuat lelaki itu berjalan menjauhiku sambil melambaikan tangannya.

Aku menggelengkan kepalaku, lalu bersiap kembali berjalan ke arah lobi untuk memesan taksi daring. Aku bukanlah tipe orang yang suka mengendarai kendaraan pribadi. Aku lebih suka naik kendaraan umum atau taksi untuk berangkat atau pulang dari kantor. Bukan karena aku manusia suci yang ingin mengurangi polusi, tapi memang dasarnya aku malas mengendarai sendiri saja.

Aku duduk di bangku panjang lobi, lalu menyalakan ponselku untuk memesan taksi menuju ke Cipayung. Belum sempat aku memesan, aku merasa ada yang duduk di sampingku. Aku menoleh, dan mendapati sosok setan tampan dengan senyuman lebarnya, Gamilang.

Lelaki dengan mata sipit itu sepertinya kekurangan obat. Sedari tadi yang dia lakukan hanya tersenyum lebar sambil menatapku. Aku mengernyitkan dahiku melihat kelakuan ajaib buaya satu ini.

"Itu nggak capek senyum terus?" tanyaku sedikit ngawur, mungkin karena sudah cukup malam.

Lelaki itu menggeleng. "Nggak kok, demi kamu apapun terasa menyenangkan dan nggak ada rasa capek."

Kuabaikan saja kalimat buaya memuakkan ini. Ingatkan aku, jika aku pernah suka pada manusia sejenis ini. Dulu aku yang bodoh apa polos ya? Tapi kok keterusan sampai sekarang ya. Aku menggelengkan kepalaku.

"Kenapa?" tanya Gamilang khawatir.

"Hah?" Aku menatap bingung lelaki itu. "Kamu yang kenapa?"

Sebenarnya apa yang salah? Kenapa jadi tidak jelas seperti ini? Obrolanku dan setan ini sepertinya memang tidak berbobot sama sekali. Antara bodoh dan terlalu jenius diriku dan Gamilang.

"Kamu kenapa geleng-geleng?" Oh astaga, kukira apa.

"Kamu jadi aneh, Gam."

"Nggak papa aneh, ini buat berjuang juga." Gamilang sepertinya sekarang mengalami gangguan jiwa.

Jika aku bilang dia dulu tak seperti ini. Dia pandai berkata manis, tapi tak terlalu mengumbar kata serta senyum. Bagiku, Gamilang memang spesies makhluk peka, tapi tidak seperti ini. Sekarang dia menjadi suka menebar senyum.

Sela [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang