Sela Persiapan

6.2K 649 7
                                    

Jumat sore aku dan Mas Argi sudah keluar dari kantor dan menuju ke apartemen Mas Argi dengan mobil masing-masing. Aku sudah membawa beberapa barang yang kubutuhkan selama di sana. Kemarin aku sempat berdebat dengan Mas Argi yang pasti dimenangkan lelaki itu. Aku memilih kembali ke apartemen sedangkan Mas Argi menyarankan membawa barang - barangku dan siap - siap di apartemen Mas Argi yang lebih dekat dari kantor maupun bandara.

Aku segera mengendarai mobilku di belakang mobil Mas Argi. Sungguh ini namanya pemborosan dan kurang efektif. Jarak kantor ke rumah Mas Argi yang masih satu kawasan hanya butuh sekitar lima belas menit. Apartemen Senayan dan kantor hanya berjarak sekitar dua kilometer saja.

Sampai di parkiran apartemen Mas Argi, lelaki itu sudah berdiri di samping mobilnya. Sepertinya menungguku. Saat aku mematikan mesin mobilku, Mas Argi berjalan mendekat. Aku keluar dari mobil dan menghampiri Mas Argi.

"Barang kamu di bagasi?" tanya Mas Argi saat aku baru sampai di hadapannya.

Aku mengangguk. "Iya."

Tanpa banyak bertanya, lelaki itu merebut kunci mobilku dan membuka bagasi. Kini satu koper dan satu ransel sudah berada di tangan Mas Argi. Aku baru akan meminta tas dan koperku, tapi Mas Argi menolak.

"Kamu bawain tasku yang di mobi aja, Ra! Ini biar aku yang bawa!" Mau tak mau aku menurutinya.

Aku pernah bilang belum sih, Mas Argi itu tipe yang sulit untuk dibantah? Dia itu termasuk keras kepala, jika kamu ingin membantahnya, maka kamu harus siap berdebat panjang yang tidak akan berhenti jika perjalanan kantor sampai apartemenku dengan keadaan macet total. Intinya kalau berdebat dalam macet, siap - siap saja telinga akan panas dan sakit.

Aku mengambil tas ransel milik Mas Argi dan kugendong di pundakku. Isinya laptop, sudah pasti berat kalau dijinjing. Mas Argi mengunci pintu mobilnya dan mengajakku berjalan ke arah lift dan menuju ke unit miliknya. Ya, unit apartemen di sini milik Mas Argi. Bagaimana aku tidak bangga dengan lelaki ini, dari uangnya sendiri, dia sudah mampu membeli unit apartemen. Selain apartemen, lelaki itu juga sudah membeli rumah yang masih dicicil. Katanya cicilannya sudah dapat setengah.

Sebenarnya Mas Argi ada usaha kecil - kecilan bersama teman - temannya. Usaha kafe yang dijalankan oleh temannya, dan Mas Argi hanya menerima beresnya saja. Jika hanya dari gaji seorang asisten manajer yang kisaran gajinya lima belas sampai dua puluh, untuk membeli unit, mencicil rumah serta membeli mobil, yang meski juga mencicil, itu termasuk kategori mustahil. Belum lagi bagaimana dia membiayai adiknya kuliah dan mengirimi beberapa uang untuk keluarganya.

Sampai di apartemen Mas Argi, aku mengedarkan pandanganku untuk menilai. Alhamdulillah, tidak seburuk kemarin. Aku menatap Mas Argi yang membawa koper dan ranselku ke kamar miliknya. Segera kukejar lelaki itu.

"Mas, kok di kamar, Mas. Mending di kamar tamu aja, Mas."

Lelaki itu mengembuskan napasnya. "kita di sini cuma buat mandi sama istirahat sebentar, Ra. Kalau ditaruh di kamar tamu, di sana nggak ada kamar mandinya, nanti kamu nggak nyaman."

Aku menggelengkan kepalaku. "Nyaman, Mas. Aku bisa mandi di kamar mandi deket dapur. Udahlah, sini tas sama koperku!"

"Kamu yang di kamarku aja ya! Aku yang di kamar mandi deket dapur," kata Mas Argi sedikit memaksa.

Aku memutar bola mataku. Kalau begini pasti sulit untuk didebat. "Mas, kamar kamu tuh privasi kamu, aku nggak berhak masuk. Kecuali...." Aku menggantungkan kalimatku dan tersenyum. "Kalau sudah jadi istri kamu."

Aku bisa melihat Mas Argi membelalakkan matanya. Aku segera merebut koper dan ranselku dan berlari ke kamar tamu. Mas Argi lucu kalau kaget begitu, pengen aku kurungin deh. Aku tadi bahkan sempat melihat kupingnya memerah. Tersipu, eh? Kalau iya, aku berhasil membuat lelaki sombong itu tersipu. Inginku tertawa setan.

Aku segera menaruh ransel dan koperku. Oh iya, aku baru ingat tas ransel Mas Argi masih bertengger di pundakku. Aku segera keluar dari kamar dan mengetuk pintu kamar Mas Argi. Lelaki itu sudah masuk ke kamar. Mas Argi membuka pintunya.

Kuserahkan ransel miliknya. "Ini tasnya, Mas."

Lelaki itu menerima tasnya. "Kamu yakin nggak mau di kamarku buat siap - siap, Ra? Nggak papa loh, Ra. Bentar lagi kamu juga jadi istriku."

Aku menggeleng tegas. "Bentar lagi, 'kan? Berarti belum, 'kan? Jadi aku bisa masuk kamarmu juga bentar lagi itu."

Lelaki sulit didebat itu akhirnya mengalah. Situ kira hanya dia apa yang bisa keras kepala? Aku juga bisa lebih keras. Bukan apa - apa sih, tapi memang itu prinsipku. Nggak mau masuk kamar lelaki yang jelas - jelas bukan atau belum jadi keluargaku. Ini hanya sebagai antisipasi saja agar tidak terjadi hal - hal yang tidak diinginkan.

Aku kembali ke kamar tamu dan mengambil beberapa keperluan untuk mandi dan pakaian ganti yang aku taruh di dalam ransel. Rencananya aku dan Mas Argi ke Klaten dua hari. Malam ini bermalam dahulu di Yogyakarta dan Senin subuh kami balik ke Jakarta.

Setelah selesai mandi, aku kembali ke kamar untuk bersiap - siap. Suara ketukan pintu yang kuyakin berasal dari pemilik apartemen ini. Aku membuka pintunya dan menampilkan Mas Argi dengan kaus hitam beserta rambut lelaki itu yang masih tampak basah. Aroma campuran mint dan lemon menguar dari Mas Argi. Sungguh ini aroma yang memabukkan bagiku. Aroma menyegarkan sesegar lelaki di hadapanku ini.

"Makan dulu ya, Ra! Aku sudah pesan tadi." Aku mengangguk. "Penerbangan kita pukul tujuh empat puluh, jadi aku Maghrib di sini dulu. Kamu lagi libur, 'kan?"

"Iya, Mas. Jadi kita berangkat habis Maghrib aja,' kan ya?" tanyaku yang diangguki Mas Argi.

Aku dan Mas Argi berjalan ke arah ruang makan. Di sana sudah tersaji makanan yang tadi di pesan Mas Argi. Aku membuka bungkusan milikku dan Mas Argi. Mas Argi menerima bungkusannya dan menyantapnya.

"Ra, aku nggak sabar nikah sama kamu. Tiap hari mau makan aja dilayani gini," katanya di sela - sela mengunyah. "Tapi, Ra. Aku sudah pernah bilang ke Pak Shaka tentang rencana kita, Pak Shaka bilang sepertinya kamu baru bisa dapat izin resign setelah Pak Shaka selesai. Yang artinya sekitar enam sampai tujuh bulan lagi."

Aku kini telah menyelesaikan makanku, aku menggenggam tangan Mas Argi yang juga telah selesai makan. "Kita nggak harus seburu - buru itu, Mas. Masa dalam tiga bulan, itu terlalu cepat. Enam bulan waktu yang pas, Mas."

"Tapi, Ra, kamu tahu aku ingin secepatnya meresmikan kita dalam ikatan yang sah biar nggak nambah dosa," ucapnya yang membuatku berdecak.

Tanpa menanggapi, aku berjalan membuang sampah dan memilih duduk di ruang tamu. Masih ada sekitar setengah jam sebelum Maghrib, jadi kami bisa beristirahat sejenak. Mas Argi menyusulku dan duduk di sampingku.

"Mas, nanti kalau sudah lamaran resmi bersama keluarga dan sudah ditetapkan tanggal, aku bakal ngajuin resign. Kalau ditahan, kita bicarain baik-baik biar nemu solusi yang tepat, ya!" kataku mencoba menenangkan Mas Argi yang tampak murung.

Lelaki itu mengangguk, lalu menatapku dengan intens dan selalu tajam. Tangannya terangkat mengelus rambutku dengan lembut, lalu mengusap pipiku. Aku tersenyum. Rasanya begitu nyaman. Mas Argi mendekatkan wajahnya dan mencium keningku cukup lama.

Lelaki itu melepaskan kecupannya. Dia tersenyum lembut dan penuh kasih sayang. "Kita hadapi bareng ya, Sayang. Apapun itu, kita harus saling menggenggam. Aku cinta kamu, Sayang."

Kata - kata Mas Argi membuatku melayang dengan jantung berdebar hebat. Belum sempat aku kembali ke bumi, Mas Argi membuatku kembali melayang lebih dari tadi, lelaki itu menciumku dengan lembut tepat di bibirku. Ciuman yang membuatku sudah tidak lagi menginjak bumi sepenuhnya.

***

Haloha... Harusnya hari Rabu update ya...

Selamat Bermalam Minggu, Mblo...

Shay

Sabtu, 29/02/20

Sela [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang