Muhammad Nur Barra Al-Aziz

2.7K 85 7
                                    

Jika dibilang enak atau tidak kebanyakan akan bilang enak. Inilah saya, yang selalu dipandang lebih baik dari siapapun.

Selalu banyak yang berkata "seneng ya jadi njenengan Gus, apa-apa di turuti. Semua ngajeni,"

Bukan itu yang saya mau. Memang saya putra dari kiai Abdullah, penerus dan pemilik pesantren Al-Amin. Dari penjelasan satu sisi juga sudah ketahuan siapa saya kan?

Kebanyakan dari murid abah memanggil saya Gus Aziz, selalu memanjakan dengan alasan "njenengan putra guru kami"

Saya sendiri baru saja menyelesaikan S1 jurusan hukum. Alhamdulillah lulus lebih cepat dengan predikat nilai terbaik. Yang umumnya empat tahun saya lulus kan diri hanya dua tahun setengah. Bukankah lebih cepat lebih baik?

Putera kedua, dengan kakak perempuan satu. Alhamdulillah hidup bersama dengan ayah dan ibu yang masih sehat.

Kakak sudah menikah, ketika saya masih duduk pada bangku Aliyah. Masih dengan perjodohan. Alhamdulillah mereka saling cocok.

"Aziz, Umi minta tolong ke koperasi ambilkan belanjaan Umi di sana," titah ibu yang membuat saya segera pergi ke koperasi sesuai perintah.

Jika keadaan mendesak seperti ini memang ibu biasa menyuruh saya untuk sekedar keluar mengambil belanjaan ibu di koperasi yang letaknya di tengah-tengah antara asrama putera dan puteri.

Ini tantangan untuk saya sebenarnya. Letak koperasi terlalu mepet dengan asrama putri. Saya terlalu canggung jika harus ditatap bahkan tidak segan mereka berbisik tentang saya.

Buka saya kepedean, hanya saja saya mendengar semuanya. Mendengar tentang bagaimana saya yang menurut mereka sempurna.

Entah, saya tidak paham. Memang perawakan tinggi semampai dengan alis tebal dan bibir tipis serta hidung bangir membuat mata santri puteri tak lepas memandang saya yang hanya bisa menunduk dan mempercepat jalan.

"Assalamu'alaikum, Kang!" salam saya ketika berada di koperasi.

"Wa'alaikumussalam Gus, tumben pagi sudah sampai koperasi saja, ada yang bisa dibantu?" tanya kang Ali, penjaga tetap koperasi yang sudah dipercayai ayah mengelola koperasi.

"Iya Kang, disuruh Umi ambil belanjaan. Kang Ali tahu belanjaan Umi di mana?" tanya saya dengan netra yang mengelilingi seluruh penjuru koperasi.

"Oh itu, sekedap kulo pundutaken." Saya cuma ngangguk sebagai jawaban.

Sambil menunggu kang Ali, tidak ada salahnya kan kalau saya melihat barang apa saja yang dijual. Siapa tahu saya bisa bantu di koperasi.

"Niki Gus, sampun teng lebet sedoyo." Saya ngangguk lagi. Kalaupun cek ulang, saya tidak akan tahu belanjaan ibu apa saja.

"Maturnuwun Kang, saya permisi ke dhalem dulu. Assalamu'alaikum," pamit saya. Urusan saya sudah selesai.

"Sami-sami Gus, wa'alaikumussalam,"

*****

Gus Aziz memang terkenal akan paras tampannya yang membuat siapa saja terhipnotis akan semua tentangnya.

Putra kiai Abdullah ini sering kali ditanya bahkan tak segan kiai bahkan bu nyai meminta agar ning nya bisa berbesan atau menikah dengan sosok soleh nan tampan gus Aziz.

Bukan menolak sebenarnya, hanya saja dari segi kemapanan ia belum siap. Memberi nafkah tidak semudah berucap besok pasti ada uang, rumah tangga bukan seperti itu.

Tidak heran sampai sekarang gus Aziz masih sendiri, seringkali sang kakak menanyakan apakah ada salah satu ning atau salah satu santri yang membuatnya siap untuk menikah, dan lagi-lagi jawabannya "Belum ada, Mbak."

Firda Abdullah adalah kakak dari gus Aziz. Dia menikah karena dijodohkan dengan gus dari pesantren sebrang.

Sudah tidak kaget lagi, jika seorang gus pasti berjodoh dengan seorang ning. Mereka senasab. Sama-sama golongan darah biru.

Namun, berbeda dengan prinsip gus Aziz yang menurutnya jodoh tidak harus sama-sama golongan biru, toh semua sama di mata Allah.

****

Gus Aziz sudah sampai dhalem dengan satu anting sayur yang ia tenteng. Tidak heran jika dhalem selalu ramai, setiap hari ada mbak santri yang membantu memasak di dhalem.

Memang dhalem masih dibilang satu tempat dengan dapur pusat. Dapur yang sering digunakan untuk keperluan masak untuk makanan santri baik putera maupun puteri.

Jadi jangan heran jika santri puteri yang bergantian bertugas piket yang ditunggu hanya hari mereka piket dapur, kenapa? Karena dengan piket dapur mereka bisa bertemu dengan sosok idola pesantren, siapa lagi jika bukan gus Aziz.

"Assalamu'alaikum," salam gus Aziz, sesaat setelah sampai dhalem.

"Wa'alaikum salam," jawab ibu dan beberapa mbak santri yang nampak masih membersihkan setiap ruang dhalem.

Gus Arif menghamiri sang ibu, menunjukkan satu anting yang ia tenteng. Anting yang berisikan belanjaan lengkap untuk amunisi santri.

"Niki sanes, Mi?" tanya gus Aziz dengan mengangkat anting yang ia bawa.

"Nggeh leres, Le. Umi minta tolong lagi boleh?" Gus Aziz hanya mengangguk, mengiyakan apapun perintah ibunya.

"Tolong bawa ke belakang, biar dimasak mbak-mbak buat makan siang nanti." Gus Aziz tidak yakin untuk ini. Ia terlalu kaku jika harus kembali ditatap mbak santri lagi.

"Nggeh, Mi," mengalah, memutuskan mengiyakan sang ibu adalah hal yang lebih baik dari pada menolak. Ia rasa dosanya terus bertambah tapi jika ditambah sebuah penolakan ia tak yakin bisa mendapat ridho dari sang ibu.

Benar dugaan gus Aziz, sudah banyak mata yang memandang. Sepertinya ketika ia kecil tak pernah ada tatapan yang seintens itu ketika menatapnya.

"Astagfirullah," gumam gus Aziz yang langsung melenggang pergi setelah meletakan belanjaan tanpa berbicara apa pun.

****

Saya tunggu kritik dan sarannya loh. Saya juga menunggu bintangnya yang banyak hehe

Terimakasih❤️

Salam RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang