Al-Falah

542 47 4
                                    

"Jadikan suasana baru menjadi salah satu tempat yang kelak akan banyak membawa cerita. Meratapi hanya akan mendapatkan sakit hati yang berkepanjangan"

****

"Gus, sampean tidur di asrama putra ndak pa-pa? Kamar tamu dalem masih dipakai, lagipula kalau di dalem nanti jadi fitnah soalnya tamu Mas mengajak keponakan putri pula," saya mengerti penjelasan gus Rouf. Lebih baik saya di asrama saja.

"Nggeh, Mas ndak pa-pa, Aziz manut saja," putus saya. Menjadi santri tidak serumit ketika pertama kali mengajar santri.

"Maaf ya, Dek jadi harus tidur di asrama putra." Saya terkekeh, lagipula mbak Firda ada-ada saja, harusnya saya yang berterima kasih masih mau menerima saya yang banyak dosa lagi lalai ini.

"Ndak masalah Mbak, terima kasih Mbak, Mas," ucap saya tulus. Beruntung sekali saya mempunyai kakak dan kakak ipar yang amat sangat baik.

****

Malam ini udara terasa lebih dingin. Beberapa hari tinggal di pesantren membuatku lebih banyak belajar tentang ilmu agama yang sebelumnya aku tidak ketahui.

Malam ini saja aku mengaji bersama budhe dan satu abdi dhalem putri yang mengajari, sedikit banyak aku tahu ilmu agama tidak hanya tentang Al-Qur'an, hadist pun sebenarnya sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Sampai jam sembilan aku baru selesai belajar bersama abdi dhalem putri. Aku baru sadar ternyata masih ada abdi dhalem seperti mbak Fara, baik. Buktinya aku dan budhe tadi di ajar mbak Ina, beliau cantik lagi baik. Mbak Ina sudah pamit keluar, tinggal aku dan budhe saja yang berada di kamar. Tadi sudah makan bersama dengan ning Firda dan gus Adnan

Mereka tadi pamit akan menjemput adiknya. Aku tidak begitu menghiraukannya. Yang aku ingat hanya kapan budhe pulang? Aku rindu ibu dan bapak serta Jihan

"Budhe, apa Riza boleh tanya?" Budhe menghentikan aktifitasnya memutar tasbih dan tersenyum menatapku, jadi rindu ibu. Pasalnya wajah budhe terlalu mirip dengan ibu.

"Iya, Nduk tanyakan saja." Aku mengangguk, sebaiknya aku bertanya daripada ndak krasan di sini.

"Budhe kira-kira pulang kapan?" Aku memperlihatkan deretan gigiku. Pertanyaanku terlalu kentara jika aku merindukan orang rumah.

"Riza ndak betah di sini?" Budhe salah sangka. Bukan itu yang aku maksud.

"Bukan begitu Budhe, Rixa betah di sini adem. Hanya saja Riza rindu Ibu sama Bapak sama Jihan juga, Budhe," cicit ku lirih.

Jika sudah berurusan dengan keluarga jadi begini, susah sekali mengondisikan perasaan agar tidak terkena virus baper.

"Kalau Riza rindu besok pulang saja. Budhe bisa jaga diri di sini," usulan budhe memang baik, tapi aku tidak setega itu.

"Riza tetap akan temani Budhe, maafkan Riza, Budhe." Aku memeluk budhe, tifak seharusnya aku berkata demikian.

Aku dan budhe memutuskan untuk istirahat, besok aku akan kembali bekerja. Rasanya aku rindu dua kunyuk yang selalu mengejekku.

****
Saya sudah sampai di asrama putra yang akan saya tempati, namanya asrama tidak ada yang spesial dan jelas hanya dengan alas karpet tipis dan kasur yang tidak begitu tebal. Yang menarik hanya tempatnya sedikit dipisah dari santri yang lain, jadi saya bisa sedikit konsen belajar di sini.

"Ndak pa-pa kan di sini, Dek? Nanti kalau tamunya sudah pulang sampean bisa tinggal di dalem ya," saya mengangguk, mbak Firda seperti dengan siapa saja. Lagipula saya paham, walaupun banyak kamar, tapi tidak mungkin satu rumah dengan tamu mbak Firda yang wanita itu.

"Iya Mbak, di sini juga enak." Mbak Firda terkekeh, saya merasa jadi anak kecil jika berbicara dengan keluarga sendiri.

Malam ini saya akan berusaha membenahi disetiap apa yang ada pada diri saya.

Semoga saja di sini saya bisa melupakan gadis bergamis, saya ingin mendoakan saja. Saya percaya rencana Allah lebih indah daripada rencana saya sendiri.

"Ini jadwal buat besok sampean mengajar, Dek." Saya menerima jadwal yang diberikan mbak Firda.

Saya membaca dengan teliti, sehari hanya ada satu jadwal, tapi kenapa harus ada jadwal mengajar santri putri?

"Mbak, jadwnya ndak salah?" tanya saya.

"Salah bagaimana? Itu jadwal sudah disepakati ustad dan ustadzah di sini. Mas mu juga sudah setuju," saya menghembuskan nafas berat. Berurusan dengan santri putri bukan keahlian saya.

"Ini kenapa ada kelas Fiqih di kelas santri putri, Mbak?" tanya saya lagi, sepertinya bukan tanya, tapi protes.

"Memang jadwalnya seperti itu, ikuti saja. Mbak yakin sampean mampu," kalau sudah seperti ini saya bisa apa?

"Nggeh Mbak, maturnuwun,"

*****

Di lanjut nggak nih?
Jangan lupa komentarnya yaa
Klik bintangnya juga

Jazakallahu khairan katsir❤️

Salam RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang