"Disisi lain aku penasaran tapi disisi lainnya aku enggan"
****
"Mau dikasih kapan balasannya?" tanya Najma yang entah sejak kapan sudah duduk di sebelahku.
Aku memang bekerja, tapi tidak ada bos yang ikut berjaga di toko, jadi biasanya jika kerjaan sudah selesai kita akan istirahat dengan sedikit gurauan dan bermain ponsel paling sering.
"Ndak tahu, tapi ndak nanti deh kayanya," singkat ku.
"Apa mau dititip kan ke aku?" tawar Laila memberi saran.
"Mau beli bensin?" Laila menggeleng, kalau niat memberikan surat nanti kesannya terlalu terburu-buru.
"Besok saja. InsyaAllah sekalian ke pom," jawabku. Ya sepertinya lebih baik begitu.
"Besok ini?" Aku menggeleng, bensin masih banyak ditengki.
"Dua hari lagi mungkin." Laila mengangguk.
"Aku antar," pintanya.
"Terima kasih, ya." Aku tersenyum sebelum kembali ke dunia mayaku. Dunia yang bisa membuatku sesat kala itu.
"Jangan gitu, aku juga seneng jadi bisa lihat santri keliaran," sontak aku mendelik kan mata. Tidak habis pikir bisa berpikiran seperti itu.
"Inget dosa, inget yang jauh di sana." Najma tertawa, apanya yang lucu?
"Iya aku tahu,"
Najma dan Laila memang pacaran, aku sudah melarang jika pacaran dosa, tapi kata mereka pacarannya hanya sebatas saling mengingatkan.
Hanya aku saja yang dicap jomblo akut, dua tahun tidak bisa move on. Sebenarnya bukan seperti itu.
Aku memang dulu pacaran, sebelum semua dirasa sangat menyakitkan. Orang yang aku cinta bahkan sayang pergi dengan yang lain dan seolah semua salahku. Momen di mana aku merasa hidup sudah tidak berarti sama sekali.
Satu tahun kala itu membuatku merasa down tidak berguna. Setelah lulus SMA semua menjadi abu-abu. Hidupku kacau, cintaku hancur.
Boleh dibilang aku terlalu takut kehilangan, sampai akhirnya aku menemukan kembali secercah harapan dan setitik cahaya semangat.
Aku kembali menjadi Nur yang selalu ceria, Nur yang selalu bisa berbaur. Meskipun kadang banyak yang mengatakan jika sebenarnya aku ini judes. Sudahlah, itu penilaian mereka.
Dan berakhirlah dua tahun ini dengan status jomblo bucin tingkat akut. Terserah mereka saja. Aku bahagia dengan status jomblo. Meskipun aku tidak yakin dosaku masih tetap banyak karena seringnya banyak nomer yang masuk dan tentu saja ada salah satu yang membuat jiwa kebapera ku naik. Dan itu pasti ada.
****
"Kang sudah ada titipan?" untuk yang kesekian kalinya saya bertanya.
Sudah dua hari ini saya menunggu balasan dari gadis bergamis. Saya terlalu berharap untuk ini. Semoga saja memang dibalas.
"Belum Gus, sepertinya sudah ndak sabar ini," goda kang Ali. Apa iya saya seperti itu? Tidak sabaran.
"Saya terlalu berharap Kang, jadi takut kecewa sendiri." Kang Ali terkekeh dan menggeleng. Sepertinya ada yang salah dengan ucapan saya.
"Berharap boleh Gus, tapi jangan terlalu berharap. Biasanya si jadinya kecewa," Astagfirullah. Saya lupa.
"Astagfirullah, maafkan hamba Ya Allah," gumam saya.
"Terima kasih, Kang. Saya mau ke dalem dulu. Saya ndak mau berharap balasan lagi kang. Saya permisi, Assalamu'alaikum," pamit saya.
Benar kata kang Ali, terlalu berharap memang akan membuat saya kecewa.
"Iya gus, nanti kalau ada balasan saya antar ke dalem. Wa'alaikumussalam," katanya begitu.
Sebentar, kalau abah dan umi tahu bagaimana?
"Saya ke sini saja Kang, takut Abah dan Umi tahu nanti saya dinikahkan." Kang Ali tertawa. Saya hanya langsung pergi dan ucapan saya terlalu blak-blakan.
****
Empat hari kemudian....
Sudah empat hari ini aku hanya menyimpan balasan surat untuk kang santri waktu itu.
Aku tidak terlalu menghiraukannya. Lagipula untuk apa berkirim surat padaku?
"Nur," panggil Laila selepas salat dzuhur tadi.
"Hmm," gumam ku singkat.
"Nanti anterin ke Helena ya, mau beli sandal," pintanya.
"Boros, ih kamu," singkat ku lagi.
"Ndak mau?" tanya Najma.
Aku memutar bola mataku malas, kenapa kalau punya uang kalap sekali si?
"Iya nanti, sekalian ke pom," singkat ku lagi.
Hening beberapa saat, sebelum Laila datang dan menanyakan perihal surat balasan.
Ah iya, hampir saja lupa.
"Sekalian saja titip surat sama Kang koperasi, Nur," saran Laila yang tiba-tiba duduk di sampingku.
"Ya nanti, biar Najma saja yang titip kan," ucapku tanpa kesepakatan dulu dengan sang pemilik nama.
"Ndak! Kasih saja sendiri," ucapnya cepat membuatku mencibirkan bibirku. Ah kesal sekali rasanya.
"Ya, sudah iya," singkat ku.
Berakhirlah temanku tertawa. Kesal sekali rasanya, mereka terlalu sekali mengerjai ku.
****
Saya kasih tau, memang partnya pendek makanya saya langsung update banyak buat kalian jadi ya jangan lupa tinggalkan jejak❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
Narrativa generale"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...