"Mengertilah bila sesuatu tentangmu selalu terlihat istimewa"
****
Aku baru saja pulang bekerja setelah kemarin aku bisa sowan ke dhalem kiai Abdullah walaupun karena tidak sengaja.
Tentang kedua sahabatku? Mereka selalu antusias jika aku berada pada keadaan tak nyaman, memang sahabat begitu kan? Merasa bahagia meskipun sahabatnya sedang diambang kesengsaraan. Astagfirullah.
"Nur anterin pulang lagi ya, sambil lihat senja depan pesantren" kata Najma, haruskah? Tapi aku tak tega untuk menolak.
"Iya boleh," singkat ku.
"Tapi mampir koperasi ya, bensin habis hehe," aku mengangguk, semoga tak bertemu keluarga dhalem lagi. Bukan apa-apa tapi aku sedang tidak baik-baik saja.
"Iya."
Aku kembali melangkah untuk pulang dan ingat jangan lupakan Najma yang akan aku antar pulang.
Sekitar dua puluh menit sudah sampai depan koperasi. Senja sudah nampak jingga, bahkan matahari akan segera lenyap dan hanya menyisakan sinar mega yang begitu indah. Subhanallah
"Assalamu'alaikum Kang, bensin satu," kebiasaan Najma teriak.
"Wa'alaikumussalam, biasa Mbak?" Aku hanya memperhatikan mereka, sesekali menyapa kang Ali.
"Sebentar Mbak, ada titipan," kata kang Ali begitu, aku hanya mengangguk bersama dengan Najma. Maklum saja uang pas jadi kan bisa langsung tancap gas.
"Ini, Mbak," kang Ali menyerahkan amplop. Oh Allah, pasti dari kang santri.
"Maturnuwun Kang. Kami permisi dulu," pamit ku.
*****
Waktu berlalu begitu cepat, jika waktu bisa diputar aku tak akan berada pada fase yang menyulitkan ku sendiri.
Rumit. Jika saja aku tak mendapatkan surat bahkan bertemu kang sorban tampan tak mungkin aku akan seperti ini.
Memang benar rencana tuhan selalu terencana dengan rapi tanpa aku tahu bahkan tanpa terpikirkan sebelumnya.
Tentang aku yang sudah dijodohkan pula. Oh tuhan begini kah rasanya pasrah menerima kenyataan? Aku ingin berkata tak sanggup dan menyerah saja.
Astagfirullah.
Aku tak berharap lebih ketika beberapa laki-laki mendekatiku termasuk akang-akang yang aku lupa namanya bahkan kang santri pemberi surat hingga pertemuan yang tak sengaja antara aku dan kang sorban yang aku saja tak tahu siapa namanya.
Malam ini aku termenung akan semua yang sudah aku lalui, terasa kacau. Bahkan aku tak pernah membayangkan akan serumit ini. Aku tak pernah merasa bahwa aku sempurna hingga bisa dekat dengan beberapa lelaki yang jelas bukanlah mahram ku, itu salah.
"Allah maafkan hamba," monolog ku.
Aku melihat amplop balasan. Ah iya aku lupa setelah sekian lama tak ada balasan akhirnya dibalas juga. Sebentar, apa artinya aku menunggu? Entahlah.
Assalamu'alaikum
Maaf lama tak menanggapi balasan dari sampean. Sebelumnya saya minta maaf sudah berkata demikian. Namun, bukan apa-apa saya hanya mengatakan yang sejujurnya. Saya mengagumi sampean.
Tapi mohon dengan hati yang amat dalam, maafkan saya karena saya tak bisa mengambil sorban bahkan bersama dengan sampean karena saya sudah dijodohkan.
Dan tentang nama. Nama kita sama, dan perkenankan saya untuk berkenalan. Nama saya Muhammad Nur Barra . Panggil saja Barra jadi ndak sama.
Sekali lagi meskipun berat saya akan mengatakan ini, datanglah jika saya menikah nanti dan bawalah sorban itu. Kita akan bertemu, jadilah sodara saya meskipun kita baru bertemu nanti.
Terima kasih sudah menunggu untuk beberapa saat yang sudah menghabiskan banyak siang dan malam.
Saya doakan sampean segera mendapatkan jodoh yang terbaik lagi shalih. Berjanjilah untuk selalu bahagia dan tertawa meskipun dengan hal sederhana.
Muhammad Nur Barra.
Entah ada apa dengan isi surat ini hingga tanpa terasa air mata ini mengalir dengan sendirinya.
Ada hal yang hilang, tapi entah aku saja tak tahu itu apa. Ada sesuatu yang menyakitkan begitu saja saat mengetahui kang santri akan menikah. Bisa dibilang aku bodoh, tak tahu tapi masih menunggu.
Dan untuk kabar bahagianya, dia akan menikah. Dan untuk aku sendiri pun haruskah menerima perjodohan pilihan ibu dan bapak? Haruskah
Ketika berbagai semoga terpanjat kan dan berbagai keinginan membuat hati kian berkecamuk. Ketika hati mengatakan tak apa tapi air mata tak bisa dibendung alirannya, semua terasa berat. Tak ada yang sinkron antara kata hati dan pikiran bahkan seolah fisik pun menolak semua akan baik-baik saja.
Memang benar jika dipikirkan, tak ada yang baik-baik saja ketika hati menginginkan dia namun takdir justru mentakdirkan yang lain. Apa ini yang namanya terlalu berharap pada manusia?
"Mbak Riza nangis?" Aku tersentak ketika Jihan sudah berada di sampingku, sejak kapan?
"Ah ndak, Dek. Mbak ndak nangis kok cuma pedas lihat tulisan," elak ku, semoga saja percaya.
"Oh kirain nangis, Mbak dipanggil ibu sama bapak. Ditunggu di ruang tengah," aku mengangguk, aku yakin pasti akan ada pembahasan perjodohan. Bisa apa aku?
Aku menurut dan segera berlalu menemui panggilan ibu dan bapak. Semoga memang ini yang terbaik untukku.
Jika setelah istiqharah tak ada mimpi. Namun, hanya ada kemantapan hati kenapa harus kembali meragu? Allah tahu yang terbaik untukku.
*****
Alhamdulillah dilanjut hehe...
Semoga suka sama part ini yaa
Jangan lupa vote dan komentarnyaOh iya yang mau gabung grub yuk gabung bisa klik linknya di bio saya ya atau chat saya aja bisa kok😊
Jazakallahu khairan katsir..🌹
Utamakan bacaan Al-Qurannya yaa, jangan lupa Yasin dan Al-kafinyaa❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
Genel Kurgu"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...