"Berdoalah, jangan berlebihan dia bukan siapa-siapamu untuk saat ini"
****
Saya kembali ke asrama, menyudahi pembicaraan serta introgasi dari mbak Firda. Saya lelah untuk hari ini terlebih memar di ujung bibir saya karena tonjokan laki-laki itu mulai sakit. Allah siapa kira-kira laki-laki yang akan mencelakakan gadis bergamis?
Saya masih mengobati luka saya dengan obat merah yang selalu saya bawa. Perih. Namun tidak seperih hati saya.
Hati saya terasa perih ketika melihatnya disakiti bahkan oleh seorang laki-laki yang berusaha menyentuhnya hingga gadis bergamis menangis dan berakhir pingsan. Hingga sampai saya ingat akan surat itu. Ah iya surat.
Saya segera membuka dan membacanya, saya tersenyum ternyata gadis bergamis memang bernama Nur. Lengkapnya Fajrina Nur Riza. Itu isi surat pertama.
Dan saya kembali membuka surat yang kedua. MasyaAllah, sakit yang saya rasakan di tubuh saya hilang. Ternyata gadis bergamis menunggu akan balasan dari saya.
Saya akan membalasnya secepat mungkin, tapi tidak mungkin jika saya bolak-balik pulang ke dhalem hanya untuk menitipkan surat. Sepertinya saya harus mencari solusi supaya bisa tetap membalas surat gadis bergamis. Semoga dia memang jodoh saya.
****
Dhalem gus Adnan semakin ramai, terlebih budhe yang menangis di depan Nur yang belum juga sadarkan diri. Nur demam kembali.
"Budhe istirahat saja ya, nanti Nur biar ditemani Mbak Fara sama mbak Tita," gus Adnan menyarankan agar budhe isitirahat. Pasalnya beliaupun masih dalam tahap penyembuhan.
"Tapi Gus, saya ndak tega lihat ponakan saya begini terus," tolak budhe Nina halus, beliau yakin Nur seperti ini karena harus pulang lebih jauh dari biasanya.
"Budhe berdoa saja ya. Riza akan sembuh, dia perempuan yang kuat kok, Budhe," gus Adnan kembali meyakinkan.
Berakhirlah budhe Nina mengiyakan apa yang dikatakan gus Adnan. Budhe berpikir jika dirinya sakit maka akan lebih menyusahkan keluarga dhalem lagi.
"Mbak tolong jaga ponakan saya ya, kalau sudah bangun tolong bilang ke saya," pinta budhe Nina dengan air mata yang masih juga membasahi pipinya.
"Nggeh, Bu. InsyaAllah,"
Budhe Nina kembali ke kamarnya. Memang sejak awal Nur pingsan tifak langsung dibawa ke kamar yang Nur dan budhe Nina tempati.
Nur sengaja dibawa ke kamar yang bisa dikatakan kamar keluarga, karena gus Aziz pun sering menggunakan kamar tersebut.
****
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih tiga puluh menit dan masih sama. Nur masih terlelap dalam pingsannya, bisa dikatakan Nur tidur, karena sekitar pukul tujuh memang sudah bangun dan kembali tidak sadarkan diri setelah meminta duduk namun justru kembali terjatuh dan sedikit membentur kepala ranjang, beruntunglah benturannya tidak keras karena masih dalam posisi dipegangi oleh mbak Fara.
"Ya Allah, Nur sampean ini kenapa sebenarnya?" tanya mbak Fara yang sedari tadi memang khawatir akan keadaan Nur.
"Uwis to Mbak, Nur juga masih tidur mungkin juga lelah." Mbak Fara kembali mengangguk lalu kembali mengecek keadaan Nur yang masih saja demam.
"Tapi Ta, ada aja yang ngusilin Nur sejak tinggal di dhalem. Mbak kasian aja sama Nur, dia kan ndak tahu apa-apa, tapi kenapa justru selalu celaka?" sebenarnya mbak Tita pun tidak tahu akan kisah Nur seperti apa. Sejak awal ia pun bisa dikatakan iri dengan Nur yang tiba-tiba datang dan akrab dengan keluarga dalem.
"Memangnya, Mbak Fara tahu semua?" Mbak Fara menggeleng, yang ia tahu hanya soal Nur pingsan di kamar mandi, itupun ia sudah berjanji tidak akan menceritakannya pada siapapun.
"Doakan aja Mbak, Nur pasti kuat. Tita yakin, Mbak. Nur orang baik sekalipun banyak yang ndak suka, Tita rasa Nur bisa bersikap biasa aja," memang ada benarnya yang dikatakan mbak Tita.
Dan yang kalian harus tahu, usia mbak Fara dan mbak Tita hanya berbeda satu tahun lebih muda mbak Tita jadi mbak Fara biasa memanggilnya hanya dengan sebutan nama saja. Berbeda dengan Nur yang lahir di bawah tahun lahirnya mbak Tita jadi maklum jika semua Nur panggil mbak.
"Assalamu'alaikum," mbak Fara dan mbak Tita yang semula saling diam langsung menoleh ke sumber suara.
"Wa'alaikumussalam," mereka menjawab dengan langsung bersikap takdzim karena yang datang ternyata ning Firda dan Rafa.
"Belum bangun juga, Mbak?" Mbak Fara dan mbak Tita sama-sama menggeleng.
"Tadi sudah Nyai, tapi pingsan lagi. Sepertinya demam sama kecapekan jadi lemes Nyai." Ning Firda mengangguk dan memosisikan diri duduk di tepi ranjang dekat dengan Nur yang masih berbaring lemah.
"Mbak kompresannya sudah diganti berapa kali?" Ning Firda kembali bertanya setelah mengecek dan mengganti kompresan baru Nur.
"Sudah tiga kali ini Nyai, tapi suhunya masih sama," jelas mbak Fara.
Ning Firda duduk dengan tetap memegang lengan Nur dengan Rafa putranya yang sepertinya bingung dengan gadis yang tertidur disebelahnya.
"Umi ini Mbak Liza?" Pertanyaan Rafa membuat ning Firda tersenyum dan mengangguk, salah satu tangannya ia usapkan ke pipi halus putranya.
"Kenapa Mbak Liza ndak bangun, Mi? Kan Lafa juga mau kenalan sama Mbak Liza," jelas Rafa yang lagi-lagi membuat ning Firda mengelus pipi putranya dengan gemas, sepertinya putranya memang butuh diberitahu akan kondisi Nur saat ini.
"Rafa dengerin, Umi ya." Rafa mengangguk dan bersiap mendengarkan sang umi.
"Mbak Riza kan masih sakit, jadi Rafa jagain Mbak Riza dulu ya, nanti kalau Mbak Riza sudah bangun pasti Umi kenalkan Rafa sama Mbak Riza," jelas ning Firda sehalus mungkin.
"Iya Umi, Lafa jagain Mbak Liza." Ning Firda kembali tersenyum, tidak terkecuali mbak Fara dan mbak Tita yang juga ikut menyunggingkan bibirnya karena ulah Rafa.
"Aarghhh.."
*****
Mohon maaf sering nggak update hehe
Masih dilanjut kokJangan lupa vote dan komennya yaa ditunggu
Jazakallahu khairan katsir❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...