"Jika saja waktu mempertemukan kita dengan mudah, tak mungkin saya akan menerka seperti ini"
****
"Assalamu'alaikum." Saya sudah sampai di dalem mas Adnan, kakak ipar saya.
Sekira setengah jam saya mengendarai mobil dengan kecepatan yang lumayan cepat.
"Wa'alaikumussalam," jawab dari dalam, sepertinya abdi dhalem.
Saya masih di depan pintu, hingga terdengar tarikan pintu di buka. Ternyata khadam putri, saya malu jika seperti ini.
"Monggo, Gus. Silakan masuk." Saya mengangguk dan masuk menuruti apa kata khadamah dari mas Adnan.
"Gus Adnab sama Ning Firda di mana, Mbak, kalau boleh tahu?" tanya saya, dalem mas Adnan terlalu besar jadi terasa sepi jika tidak ada orang seperti ini.
"Wonten atas, Gus. Monggo diunjuk rumiyen." Saya hanya mengangguk tifak berkomentar apapun.
"Saya permisi panggilkan, Pak Kiai dan Bu Nyai," pamit khadamah tadi pada saya.
"Nggeh monggo,"
Saya sendiri, di dalem yang terbilang megah ini.
Rafa di mana? Tidak ada suara apa pun. Saya ingat, tadi abah bilang ponakannya yang sedang tirah sakit, mungkin saja sedang mengurus ponakan tamu dari mereka.
"Sudah lama, Gus?" Saya tersentak kaget, ternyata tadi saya melamun.
"Baru saja, Mas. Mbakyu di mana?" tanya saya, ya yang datang adalah gus Adnan. Kakak ipar saya.
Saya mengitari sekitar bermaksud mencari keberadaan mbakyu, ternyata nihil. Tidak saya temukan.
"Mbakyu sampean masih di atas, masih kasih obat buat, Riza," kata kang mas menjelaskan. Sepertinya istimewa sekali wanita itu
"Memangnya dia siapa, Mas?" Tidak bisa menahan tingkat penasaran saya yang selalu saja membuncah ini.
"Keponakan dari Vudhe Nina, yang sudah hampir tiga hari ini menginap di sini. Gus. Mau jenguk?" Saya menggeleng cepat. Apa-apaan mas ini.
"Ndak, Mas. Saya juga ndak tahu kan siapa yang sakit itu," kesal saya.
"Makanya jenguk terus di doakan, Gus. Lagipula anaknya cantik, penurut, baik lagi. Apalagi ibadahnya, subahanallah ndak pernah telat." Saya jadi curiga, mas Adnan sedang tidak memikirkan untuk mencari madu buat mbak Firda kan? Astagfirullah.
"Memangnya sakit apa, Mas?" Saya tidak mau meperpanjang masa pembicaraan tentang jenguk menjenguk, jadi mending pindah topik saja.
"Minum, Mas," lanjut saya dengan bersiap minum sebelum pertanyaan saya dijawab kang mas.
"Tadi kehujanan pulang ke kini, katanya habis mengantar temannya pulang--"
"Uhukk..." Saya tersedak teh yang saya minum.
Ingatan saya kembali pada gadis bergamis yang seringkali mengantar temannya pulang.
"Astagfirullah, pelan-pelan, Gus." Saya mengangguk akan peringatan dari kangmas.
"Kenapa bisa tersedak si? Apa yang sampean pikirkan?" lanjutnya bertanya.
"Ndak ada, Mas," cicit saya lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
Ficción General"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...