"Rajut lah kisah seindah mungkin, bila ada sedikit kerikil mungkin itu adalah salah satu cara Tuhan untuk selalu membuat umatNya bisa merasa tegar"
****
Pagi di mana semua rencana akan segera terlaksana, tentang acara resepsi yang Nur kira akan terlaksana dengan sederhana ternyata tidak.
Abah menyarankan agar walimahan kali ini digelar dengan pengajian berharap akan mendapat banyak berkah dari para kyai sekaligus habaib yang memang sengaja di undang.
Nur sedang di rias, sejak setelah subuh Nur sudah di giring menuju ruang riasnya, kali ini Nur bersama beberapa khadamah dari kyai Abdullah.
"Ning, saya ndak nyangka Jenengan secantik ini," puji salah satu khadamah yang berada di dekat Nur saat ini.
Ada rasa aneh bahkan canggung, Nur tak pernah akan merasa berada di titik tertinggi dalam pesantren ini, menjadi seorang ratu dari pangeran pesantren Al Amin bahkan mengalahkan beberapa wanita yang notabennya senasab dengan gus Aziz, suaminya.
"Matur nuwun, Mbak. Mbak juga cantik," puji Nur dengan senyum yang tak lepas dari khadamah di depannya ini.
"Ternyata lebih cantik dari Ning Nisa, ya Lis." khadamah yang dipanggil Lis hanya mengangguk antusias.
"Ning Nisa, siapa Mbak?" Sukses pertanyaan itu keluar dari mulut Nur yang masih saja penasaran akan sosok ning Nisa itu.
"Itu Ning, putri Kiai Maksum, sahabat Gus Aziz." sebentar, sahabat? Jadi gus Aziz punya sahabat perempuan? Nur rasa bisa lebih dari sahabat.
Karena yang Nur tahu jika laki-laki dan perempuan bersahabat pasti salah satu akan beranggapan lebih.
Jangan suudzan Nur!
"Astagfirullah," gumam Nur.
"Ada apa, Ning?" Ah Nur lupa masih ada dua khadamah yang setia menemaninya.
"Ndak pa-pa, Mbak."
****
Ning Nisa sudah bersiap dengan kado yang terbungkus rapi di dalam paper bag batik yang sengaja beliau beli. Tak ada pilihan lain selain datang ke resepsi pernikahan gus Aziz yang sampai saat ini masih bersarang di hatinya. Meski sesak ning Nisa tarus terlihat baik-baik saja. Tentang pengajuan perjodohan antara gus Ibra, ning Nisa tak sedikitpun memikirkannya, semoga saja ayahnya tak menyinggung persoalan itu.
"Apa ndak seharusnya sampean di rumah saja, Nduk?" Bu nyai Bandi sedikit tak yakin putrinya akan baik-baik saja, mengingat beberapa hari yang lalu sempat ada perdebatan tentang perasaan sang putri pada teman kecilnya itu.
"Ndak Umi, ini hari bahagia Gus Aziz. Sampun sewajare kulo nggeh nderek seneng." Bu nyai mengusap kepala ning Nisa dengan tulus, menyalurkan kekuatan pada putrinya.
Bu nyai seorang wanita bisa merasakan apa yang dirasakan putrinya ini. Jika dulu beliau tahu akan isi hati putrinya tak mungkin bu nyai akan diam saja mengingat gus Arif sudah di anggap seperti putranya sendiri.
"Yo wis, Umi kancani yo," pinta Nyai Bandi, ning Nisa menggeleng, tak yakin dan tak mungkin jika bersama dengan sang umi akan baik-baik saja nantinya, ning Nisa takut jika gejolak hatinya menimbulkan berbagai hal salah satunya air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...