Fajrina Nur Riza

885 64 0
                                    

"Diam itu emas"

****

Aku lebih sering dibilang judes karena selalu menampakkan muka datar. Ya, mau bagaimana lagi ini sudah apa adanya aku.

Aku anak pertama dari dua bersaudara. Menjadi anak pertama tidak membuatku bisa berleha-leha. Adikku perempuan seusia sekolah menengah pertama.

Aku bekerja, iya bekerja disalah satu toko di kota. Alhamdulillah dari bekerja bisa membuatku sedikit membantu ekonomi keluarga.

"Cie yang kemarin dapet surat dari kang santri," ejek Najma teman satu tempat kerjaku yang kebetulan sering pulang bersama meskipun jelas kita berbeda desa bahkan beda kecamatan.

Aku memang sering pulang bersamanya. Alasan pertama karena satu jalan menuju pom dan yang kedua memang sering aku ajak beli bensin di pom, sebenarnya sih aku suruh antar. Aku malu sendiri berasa kaya anak ilang.

"Seriusan jomblo bucin dikasih surat?" Laila temanku juga ikut menimpali. Kenapa suka sekali mengejek sih?

"Hooh, La. Dari kang santri." Aku hanya mendelik kan mata, tanda tidak terima. Ah surat itu.

****

Sampai rumah aku bergegas beres badan dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim sampai waktu isya datang.

Hingga selesailah urusanku dengan Ar-Rahman pemilik semesta ini.

Aku kembali ke kamar setelah dirasa lelah di tubuhku semakin menjalar kemana-mana.

Aku urung ketika ingin merebahkan tubuhku pada kasur yang tidak begitu besar dan cukup untuk diisi aku dan Jihan, adikku.

Ah surat itu!

Segera aku ambil dan aku baca.

"Jika boleh diibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan.

Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun.

Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meskipun dari jauh.

Maafkan saya yang dengan lancang memandang hingga tercipta sebuah bayang.

Satu permohonan, perkenankan saya bisa mengenalmu. Lebih dekat seperti saya dan bayangan saya sendiri.

Sekali lagi maafkan saya."

Muh Nur

****

Aku menutup surat itu, ini aneh sekali. Siapa dia? Muh Nur? Siapa?

Untuk apa mengenalku? Lagipula aku tidak mengenalnya.

Beberapa asumsi ku membuatku pusing sendiri. Sudahlah, sebaiknya besok saja dibalasnya waktu di tempat kerja.

Siapa tahu ada saran dari kedua sahabatku. Ia mereka selalu ada cara.

****

Salam RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang