"Sesuatu yang ditunggu memang terasa lebih lama"
****
Sesuai kesepakatan, aku pulang bersama dengan Najma.
Ya, sore ini aku akan mengantarnya membeli atau sekedar melihat-lihat toko sendal.
Aku hanya berdua dengan Najma yang membonceng dibelakang motor matic pink ku.
Najma memang membawa motor hanya sampai persimpangan saja, setelahnya ia titipkan karena tidak ada SIM jadi naik angkutan jadi jalan satu-satunya.
Aku melihat dan sejenak memilih, hanya memilih tidak berniat membeli sama sekali. Persediaan uang untuk bulan ini sudah menipis. Tanggal gajian masih lama.
Maklum lah, bekerja di toko tidak seenak bekerja di kantoran. Tidak seenak kelihatannya juga.
"Ini bagus, ndak?" Najma menunjukkan salah satu sendal berbentuk heels berwarna hitam. Cantik
"Bagus," singkat ku dan kembali melihat ke sekeliling toko.
"Yuk, Nur," ajak Najma dengan satu sendal yang aku yakini akan ia beli. Memang dasar.
Aku kembali melanjutkan perjalanan pulang, masih bersama Najma.
Sudah terlalu sore, tapi kalau mampir ke pom pasti pulang malam, tidak baik untuk wanita pulang malam.
Aku sepakati saja, beli bensinnya besok. InsyaAllah masih cukup.
Benar sampai di pertigaan, sudah hampir gelap, ditambah awan hitam yang sepertinya akan meluncurkan aksinya berkolaborasi dengan air hujan.
****
Sudah mau maghrib, saya diperintah abah untuk cek sebagian santri apakah sudah kembali ke asrama atau masih berkeliaran.
Cuaca sore ini kurang bersahabat. Dingin menerpa kulit tubuh saya, membuat saya sendiri merasakan dingin padahal sudah memakai jaket ditambah dengan serban yang selalu melingkar di leher.
Saya sudah sampai koperasi lagi. Dan lagi-lagi saya berharap jika ada surat balasan yang datang.
"Assalamu'alaikum, Kang," sapa saya pada siapa lagi jika bukan kang Ali yang sepertinya masih sibuk degan rekapan sore ini.
"Wa'alaikumussalam Gus, ada yang bisa dibantu?" Saya menggeleng.
"Ndak Kang, saya cuma mampir berteduh. Di luar gerimis. Saya ndak bawa payung," ini memang sungguh, bukan alibi lagi.
"Di sini ndak ada payung, Gus. Sebentar lagi magrib. Apa panjenengan ndak dimarahin Abah?" Saya lupa, tugas saya sudah selesai, semua sudah rapi termasuk sudah tidak ada santri yang berkeliaran.
"InsyaAllah ndak, Kang. Saya disuruh Abah buat cek kondisi santri sore ini, tapi terjebak hujan." Kang Ali hanya mengangguk. Sama seperti saya, bingung di satu sisi hujan begitu deras dan di sisi lain waktu sudah menjelang maghrib.
****
"Nur, sudah mau maghrib. Mau diterjang apa nunggu dulu?" tanya Najma padaku. Sepertinya menunggu bukan solusi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...