"Bersabarlah, Tuhan tak akan menguji umatNya melebihi batas kemampuannya"
****
Brak!
"Astagfirullah, Nduk!" teriak ning Firda dari luar kamar mandi.
Pintu terbuka dan benar tubuh mungil Nur terkulai lemas dengan wajah putih yang semakin pucat.
"Tolong, Mbak angkat Riza bawa ke ruang kesehatan dan tolong minta petugas kesehatan untuk tangani langsung, ya," titah ning Firda langsung dilaksanakan oleh khadamah yang kebetulan berjumlah dua orang.
Semua tidak menyangka jika Nur bisa terkunci di dalam kamar mandi ini.
Terlebih tidak ada saksi di sini. Tidak ada bukti bahkan jejak orang selain Nur yang terkunci di dalam.
****
"Assalamu'alaikum," salam saya ketika sampai di dalem.
"Wa'alaikumussalam, duduk, Gus." Saya menurut apa kata abah. Tidak biasanya abah seperti ini.
"Nggeh, Bah." Saya duduk persis di depan abah. Saya sama sekali tak bisa menebak, terlebih saya tak melihat umi di sebelah abah.
"Apa maksud dari ini?" Abah memberikan bungkusan amplop berwarna putih, saya mengenali itu. Tapi kenapa abah bisa tahu?
"Nyuwun ngapunten, Bah." Saya tidak bisa berkata apa pun selain itu. Kenapa jadi seperti ini?
"Jelaskan sama Abah yang sebenarnya, bukan begitu caranya. Sampean paham kan?!" tegas abah, jujur saja saya tidak pernah mendengar nada abah marah seperti ini.
"Nggeh, Bah." saya menghela napas sebelum menjelaskan semuanya.
"Maaf Bah, Aziz hanya ingin berkenalan saja. Mboten wonten maksud lain, Bah," saya mengatakan apa adanya, meskipun saya tidak yakin abah akan percaya pada saya.
"Bukan begitu caranya, Le," kini umi yang angkat suara. Saya takut jika umi sudah seperti ini.
"Ngapunten, Mi."
Cara saya memang salah, tapi saya tidak mungkin mengatakan secara langsung apalagi saya bilang akan berkenalan. Tidak semudah itu. Yang saya hadapi gadis pemalu bahkan pendiam bisa dibilang cuek.
"Ketemu di mana?" pertanyaan umi membuat saya bingung, harus saya bilang semuanya?
"Em..ko..koperasi, Mi." Abah mengusap wajahnya frustrasi, sedang umi tersenyum. Sungguh saya tidak paham dengan ekspresi beliau berdua.
Saya terdiam, pasti akan ada hukuman untuk saya. Maafkan Aziz, bah, mi.
"Abah ndak bisa berbuat apa-apa lagi. Sampean mau menikah apa belajar dulu?" Saya menatap abah tak percaya. Pilihan saya masih belajar.
"Belajar, Bah," cicit saya lirih.
"Abah titipkan sampean jadi salah satu pengajar di pesantren Al-Falah asuhan Kang Masmu, ndak ada penolakan," tegas abah. Saya tidak bisa berkutik lagi, nasi sudah menjadi bubur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...