"Tidak ada kesedihan yang abadi, pun tak ada kebahagiaan yang abadi. Semua diciptakan sesuai porsinya masing-masing"
****
Seminggu setelah kejadian Nur ditolong gus Aziz, ia tidak pernah lagi mendengar bahkan mengetahui keberadaan gus Aziz. Semua bagaikan lenyap ditelan bumi.
Nur sendiri masih sering mencari setelah salat subuh bahkan setelah pulang kerja pun kadang Nur lakukan untuk mencari sosok gus Aziz yang tidak pernah ia tahu seperti apa wujudnya.
"Mbak Fara tahu tidak Gus Aziz di mana?" Sukses pertanyaan Nur membuat mbak Fara menautkan alisnya.
"Gus Aziz pulang Nur, tiga hari yang lalu beliau izin pulang. Mbak ndak tahu juga." Nur mengangguk bersamaan dengan helaan nafas beratnya.
Haruskah ia mengunjungi pesantren Al Amin agar bisa bertemu seorang gus Arif?
"Nur belum ngucapin makasih Mbak, tapi beliau sudah pulang saja. Besok Nur InsyaAllah pulang. Alhamdulillah, Budhe udah sembuh," kini raut kesedihan terpancar di wajah mbak Fara.
Nur memang akan pulang, sudah satu bulan dan kabar dari budhe membuatnya merasa semuanya akan kembali seperti semula. Ia tifak akan jadi bahan tatapan tajam santri di sini lagi.
Ia tidak akan berangkat dan pulang kerja jauh lagi, ia akan kembali ke rumah. Ke tempat asalnya, tempat ternyaman bersama keluarganya.
"Sampean beneran mau pulang, besok ini?" Nur mengangguk akan pertanyaan mbak Fara.
"InsyaAllah, Mbak. Makasih ya Mbak, sudah mengajarkan banyak hal. Sudah mau jadi kakak buat Nur yang ceroboh hehe," mbak Fara tersenyum meski ada sedikit bulir yang terjatuh di khimar cokelatnya.
Nur pun sama sedih, tapi ia masih bisa menahan meskipun pandangannya sudah buram karena anak sungai yang sudah banyak bahkan sudah tidak bisa ditampung lagi.
Ya pertahanannya gagal, buliran bening itu mengalir bahkan dengan leluasanya. Nur menangis memeluk mbak Fara yang sama-sama mengeluarkan air mata. Nur menemukan sosok kakak yang sedari dulu ia harapkan, sosok yang bisa membantunya bahkan memberikannya berbagai petuah, hingga memarahi. Nur yang ceroboh selalu diingatkan mbak Fara yang selalu sabar dan menunggu cerita Nur dengan sabar.
"Maafin Nur, Mbak, Nur selalu melibatkan Mbak Fara sama Mbak Tita dalam masalah dan kecerobohan Nur. Maaf Mbak, maaf."
Mereka sama-sama berpelukan menyalurkan seluruh kesedihan yang lagi-lagi membuncah.
Memang pertemuan selalu bersanding dengan perpisahan, tapi bukankah itu hal yang wajar? Jika kebahagiaan saja bisa menjadi sebuah kesedihan. Ingatlah jika semua tidak ada yang abadi.
****
Sejak tiga hari yang lalu saya pulang ke pesantren Al Amin. Ada hal yang harus saya selesaikan terutama tentang hati saya.
Semenjak kejadian saya menolong gadis bergamis, saya memang terkesan tertutup dan jarang saya menampilkan wajah di dalem gus Adnan, kakak ipar saya.
Saya hanya merasa bahwa sekarang bukanlah saatnya. Bukan saya tidak mau mengakui siapa saya sebenarnya, tapi saya belum siap akan sebuah sikap yang nantinya akan membuat saya kecewa. Saya tidak mau itu terjadi sekarang. Dan tentang surat itu memang saya sengaja belum membalasnya, ada beberapa hal yang membuat saya urung membalas surat itu, tapi doa saya masih sama, semoga gadis bergamis memang ditakdirkan untuk saya bimbing nantinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...