"Nama adalah salah satu karunia yang bisa menjadi sebuah doa"
****
Nur beberapa kali mengerjapkan netranya. Alarm pukul tiganya sudah berbunyi padahal rasanya ia baru saja mengistirahatkan tubuhnya. Hingga Nur membalikkan badannya dan terlihat sosok yang masih memejamkan matanya dengan penuh kedamaian, ada sedikit lengkugan di bibir Nur melihat laki-laki yang tidur di sampingnya. Ada rasa aneh memang, biasanya yang terlihat adalah Jihan sang adik sekarang justru kang sorban tampan sang suami. Bukankah Nur harus bersyukur?
"Kang sorban," gumam Nur dengan senyuman tulusnya.
"Jangan memandang saya seperti itu!" Nur tergelak. Suaminya sudah bangun? Dan sejak kapan?
"Maaf, Gus. Jenengan sudah bangun? Saya permisi mau ambil wudhu," pamit Nur dengan gelagepan. Tak habis pikir jika gus Aziz sudah terbangun, apa karena terganggu alarm milik Nur? Mungkin saja begitu.
Gus Aziz tak menyahuti ucapan Nur yang sudah berlalu dan masuk ke kamar mandi. Ada sedikit senyuman yang terbit di bibir gus Aziz. Tentang panggilannya yang aneh dan tentang ekspresi wajah Nur yang sudah merona karena tertangkap sedang menikmati memandang wajah tampannya.
Ada rasa hangat yang menjalar di hatinya, ada debar yang tak beraturan di dadanya. Benarkah hatinya akan lebih baik setelah ini? Dan setelah menikah akankah rasa dengan ning Nisa akan hilang begitu saja? Entahlah gus Aziz hanya mau menikmati hidupnya setelah sah menjadi sosok seorang suami dengan istri yang bergelar pemalu.
"Sampean mau tahajud?" Tanya gus Aziz. Nur mengangguk dengan memakai bersiap memakai mukna yang sudah diambilnya dari dalam lemari.
"Nggeh, Gus," singkat Nur.
"Tunggu saya ikut!" tanpa jawaban dari Nur yang setengah mematung, gus Aziz sudah pergi untuk mengambil air wudhu.
Nur kembali ke dunianya dan bersiap menyiapkan pakaian untuk suaminya. Masih terdengar lucu untuk sebutan itu.
Bukankah hal yang indah bila bisa salat bahkan berjamaah dengan suami? Bukankah ada kebahagiaan bila kemarin masih sendiri dan sekarang sudah berdiri di belakang bahkan dengan siap berucap aamiin untuk al fatihah yang terucap.
Nur bahagia, tak pernah ia berpikir bahwa hidupnya akan seindah ini. Bahwa dengan mudahnya Allah mengirimkan jodoh untuk dirinya yang bukan termasuk manusia yang taat bahkan bisa dibilang masih sering lalai.
"Assalamu'alaikum warahmatullah"
Baik Nur ataupun gus Aziz sudah menyelesaikan salat malam mereka dengan berjamaah. Ada rapalan dzikir bahkan ada berbait-bait doa yang senantiasa Nur aamiinkan dengan posisi masih di belakang gus Aziz.
"Ya Allahhu Robbi...terima kasih atas nikmat dan Rahmat yang telah engkau berikan. Jatuh cintakanlah kami, bukakanlah hati kami, jadikanlah kami pasangan yang selalu ingat akan Engkau."
"Aamiin," gumam Nur yang masih didengar gus Aziz yang akhirnya membalikkan badan menghadap ke arah istri yang baru beliau halalkan.
"Mau lanjut tidur?" Nur menggeleng akan pertanyaan sang suami.
"Lalu?" lanjut gus Aziz bertanya.
"Mau menunggu subuh, Gus. Sekalian mau ngaji." Gus Aziz tersenyum, baru pertama ini istrinya berkata selembut itu, lain dari semalam yang menangis penuh tekanan.
"Saya temani," putus gus Aziz.
Tak ada penolakan bahkan kata iya. Kedua pasangan ini masih setia dengan mushaf masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...