"Terima saja selagi kamu mampu untuk menjaganya"
****
"Bu, Mbak semua, Nur pamit berangkat kerja dulu ya," pamit Nur setelah adegan takut dan tangis karena obat merah.
"Ndak mau sarapan dulu?" Nur menggeleng, jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul tujuh, ia tak mungkin terlambat kali ini.
"Ndak usah Bu, Nur langsung berangkat saja. Assalamu'alaikum," pamit Nur dengan mencium semua punggung tangan orang-orang yang di dapur, maklum saja disana Nur terlihat paling muda diantara yang lain.
"Wa'alaikumusslam,"
Nur melangkah keluar, masih ada ning Firda dan anak kecil entah siapa. Ini pertama kalinya Nur bertemu anak itu.
Setelah mengucap salam Nur langsung saja berpamitan dengan mencium punggung tangan ning Firda dengan takzimnya.
"Riza, pamit dulu ya, Ning, Assalamu'alaikum," pamit Nur dengan sopannya.
"Iya Nduk, hati-hati, ya. Wa'alaikumussalam." Nur kembali mengangguk dan melenggang pergi setelah salamnya terjawab.
****
Saya kembali ke asrama, pikiran saya kembali kacau untuk saat ini.
Kenapa nama-nama yang selalu saya hindari terus saja disebutkan oleh mereka tanpa tahu apa yang saya rasakan saat ini?
"Gadis bergamis, saya rindu," monolog saya, saya terlihat begitu rapuh jika sendiri seperti ini.
Saya kembali mengambil surat balasan yang kemarin ketahuan oleh abah dan umi karena keteledoran saya sendiri.
Surat ini penguat saya, ada atau tidak ada balasan tetap tidak akan membuat saya bisa kembali baik-baik saja. Rasa saya sudah terlalu keterlaluan, candu yang saya rasakan membuat saya lupa bahwa saya bisa saja terjerumus zina. Allah ampuni hamba.
Saya memutuskan untuk kembali ke dhalem, sepertinya bermain bersama dengan Rafa jadi solusi saya agar melupakan gadis bergamis itu.
****
Aku sudah sampai tempat kerja. Alhamdulillah pas jam menunjukkan pukul tujuh tiga puluh jadi tidak terlambat.
Aku segera mengayunkan kakiku ke toko, sepertinya tetap sama. Sehari libur tifak membuat pedagang dan pembeli jajanan kaki lima berhenti berghibah, entahlah aku tidak mau ikut campur urusan mereka.
"Kok sendiri Mbak, temannya mana? Biasanya barengan," aku menangkupkan tangan di depan dada sebagai salam perjumpaan. Tidak mungkin saya menjulurkan tangan pada pak bakso, ya aku memanggilnya pak bakso, karena memang beliau berjualan bakso keliling.
"Enggeh Pak, belum pada berangkat," aku menyudahi pembicaraanku dan langsung masuk untuk mulai bekerja.
Bismillah, semoga tidak ada kata tepar kembali.
Sampai kedua temanku berdatangan dengan keceriaan mereka. Mungkin habis dapat kejutan dari pacar masing-masing, entahlah.
"Pagi Ciinca," teriak Laila, kebiasaan tidak pernah salam terlebih dahulu.
"Assalamu'alaikum," aku melihat Laila nampak menutup mulutnya, malu mungkin.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah," aku terkekeh sendiri karena jawaban Laila yang terkesan lucu.
"Assalamu'alaikum yaaa ahli kubur," astagfirullah ini apalagi?
"Wa'alaikumussalam yaa ahli kubur aidhon," aku tergelak begitu juga dengan kedua temanku ini. Mereka ada-ada saja.
Hingga toko sudah dibuka, semoga kali ini ramai. Pasalnya kedua temanku mengatakan bahwa waktu aku libur jualan sedang dalam masa telaten, bisa dibilang sepi.
"Nih Nur sampai lupa," Najma meletakkan bungkusan di depanku, mungkin yang kemarin ia kirim gambarnya padaku.
"Buka dong Nur, kepo," desak Laila yang ingin merebut bungkusan itu dari tanganku. Ah dia selalu bikin aku emosi.
"Kepo kek kethke dora!" Bukan aku yang bersuara, melainkan Najma. Kan kena sendiri.
Aku membuka bungkusan itu, dialamnya ada sorban berwarna maroon dengan parfum khas laki-laki, tapi aku suka baunya.
Aku menemukan kertas, seperti surat, tapi tulisannya sama seperti kang santri yang minta berkenalan denganku. Apa ini dengan orang yang sama? Apa Najma bertemu dengan pemilik sorban ini? Ah aku terlalu kepo tentang ini.
"Ini dari siapa?" tanyaku setelah membaca surat yang ada di dalamnya.
"Kang santri," singkat Najma dengan masih memainkan ponselnya.
"Kok bisa dapat sorban? Kamu bertemu Kang santri?" intgrogasiku, aku terlalu kepo tentang ini.
"Ndak cinca," aku mencoba mencari kebohongan di mata Najma, tapi nihil tidak kutemukan sama sekali.
"Suratnya emangnya isinya apa?" tanya Laila. Aku menyerahkan kertas itu pada Laila.
"Jangan kencang-kencang," aku memperingatkan sebelum Laila berulah.
Assalamu'alaikum
Semoga cepat sembuh ya, maaf sudah membuatmu sakit karena mengantar balasan untukku.
Saya titip sorban kesayangan saya padamu, jaga baik-baik, suatu saat akan saya ambil bersama dengamu.
Doakan saya ya! Semoga kamu tidak terganggu lagi karena setelah ini tak akan ada surat-surat aneh yang menghantuimu
Jaga kesehatan, saya masih menunggu siapa namamu:-)
Muh.Nur
Laila memberikan kembali selembar kertas itu padaku
"Kok salam perpisahan sih?" tanyanya, aku hanya mengangkat bahuku tidak tahu.
"Yang kasih ini siapa, Naj?" tanyaku.
"Kang Ali, kemarin aku beli bensin," aku mengangguk, hingga sempat berpikir akan memberikan balasan dua sekaligus dan aku titipkan pada Najma, tapi tidak mungkin aku pulang larut malam lagi, aku masih dalam proses penyembuhan.
"Aku titip balasan ke kamu, ya?" Semoga kali ini Najma mau.
"Tulis saja, nanti aku titipkan, Kang Ali," tumben baik? Eh astagfirullah maafkan aku Najma.
Aku mengambil dua lembar kertas HVS, aku akan membalas semua surat dari kang santri itu.
*****
Kira-kira mau dibales apa sama Nur?
Lanjutin nggak tuh? Kalau double up gmana?Ditunggu bintang dan komentarnya yaa hehe
Jazakallahu khairan katsir❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...