"Jika hasil tidak menghianati usaha maka sesakit apapun akan tetap terasa biasa saja."
****
Suasana malam semakin larut dan ini yang saya rasakan. Kepala saya terasa semakin berat dan badan saya terasa dingin tapi keringat semakin bercucuran.
Untung saja saya sudah menulis balasan kembali. Semoga saja tidak mengecewakan.
Tok..tok..tok...pintu kamar saya diketuk, saya yakin itu pasti umi.
"Sudah tidur belum Le, Umi masuk ya?" terdengar suara umi dari luar tepat seperti dugaan saya, tapi saya lemas sekali untuk sekedar membukakan pintu.
"Belum Mi, masuk saja," berakhirlah saya yang teriak karena tidak kuat hanya sekedar membukakan pintu umi.
Umi sudah berada di tepi ranjang. Masih dengan raut wajah yang membingungkan. Beliau mendekat dan menyentuh tubuh saya.
"Astagfirullah, Le, sampean demam, sebentar Umi ambilkan Kompress," saya cuma bisa mengangguk. Allah kenapa lemas sekali.
Selang sepuluh menit umi kembali, dengan bersama mbak santri yang sepertinya bertugas menginap karena pagi sekali harus piket dapur untuk memasak.
Mbak santri yang bersama umi meletakkan baskom berisi air dan satu mangkuk bubur.
"Kenapa bisa demam begini? Sampean tadi kehujanan, ya?" Saya sudah menebak, pasti umi tahu apa yang saya lakukan.
"Tadi sudah masuk maghrib, Mi. Aziz terjebak hujan jadi terpaksa menerjang hujan," jujur saya meskipun dengan beberapa kali menggigil.
"Ya, sudah Umi kompres, dimakan juga buburnya. Habis itu minum obat, ya," begini ya rasanya sudah besar tapi tetap seperti anak TK.
"Nggeh, Mi. Maturnuwun." Umi tersenyum dan mengangguk. Saya rindu momen seperti ini.
Momen di mana selalu diberi perhatian. Bukan umi tidak pernah perhatian, bahkan beliau sangat perhatian. Hanya saja seiring saya bertambah umur mungkin cara perhatian umi berbeda jadi jarang bagi saya dibelai bahkan dikecup seperti ini.
****
Aku baru saja sampai rumah kala kumandang azan isya. Sepertinya aku pulang terlalu larut.
"Dari mana saja, Nduk? Kenapa malam sekali? Kan bawa mantel?" Ya seperti inilah aku, selalu saja mengkhawatirkan kedua orang tuaku. Maaf bapak, ibu.
"Riza habis mengantar Najma, Bu, beli sandal," maaf bu bukan Nur mau berbohong, hanya saja Nur belum siap jika bercerita dengan ibu, tapi aku tidak bohong seutuhnya. Kan memang benar aku pulang bersama Najma dan mampir mengantarkan beli sandal kan?
Ya Riza, nama panggilanku di rumah. Namun, tidak di luar rumah. Di luar sering sekali dipanggil Nur.
"Kejebak hujan di mana?" Aduh pertanyaan ibu buatku takut.
"Dekat pesantren Al-Amin, Bu." Ibu mengangguk sebelum akhirnya kembali ke dapur.
Alhamdulillah, maaf bu. Nur belum siap cerita. Lagipula apa yang akan aku ceritakan pada ibu?
Aku kembali masuk ke kamar, di sana ada Jihan dan beberapa tumpukan buku, sepertinya sedang belajar.
"Mbak Riza, baru pulang? Kehujanan? Apa main dulu?" Aku memutar bola mataku malas. Kenapa Jihan sama seperti ibu, suka sekali mengintrogasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...