"Asing namun menyejukkan"
****
Di tempat ini, tempat asing yang aku saja tidak pernah membayangkan akan berada bahkan sampai bermalam seperti ini.
"Budhe istirahat saja. Kalau perlu sesuatu nanti Riza ambilkan." Budhe mengangguk dan memosisikan diri untuk istirahat.
Sepi, malam ini sepertinya menjadi malam yang panjang untukku. Malam dengan suasana yang berbeda.
Aku memutuskan untuk keluar. Ada acara haus segala. Di mana dapurnya?
"Mau kemana, Nduk?" Aku terhenti dan berbalik. Yang kutemukan saat ini adalah ning Firda istri gus Adnan
"Ngapunten, Ning. Saya mau ke dapur. Haus." Ning Firda tersenyum dan mengangguk. Malu sekali aku.
"Ya sudah, yuk saya antar ke dapur." Aku hanya mengangguk dan mengekor ning Firda dari belakang.
Suasana malam ini hening, aku dan ning Firda pun berjalan dengan keheningan tidak ada yang bersuara sama sekali.
"5 masih sekolah, Nduk?" tanya ning Firda memecah suara.
"Sampun lulus, Ning," singkat ku dengan tersenyum meskipun dalam posisi menunduk.
"Kuliah atau bekerja?" Sepertinya ning Firda asik jika diajak bicara.
"Sudah bekerja, Ning hehe," kataku dengan sedikit terkekeh kecil.
"Besok libur?" tanyanya lagi. Aku jadi ingat besok berangkat sama siapa? Mana ndak bawa baju ganti pula.
"Ndak, Ning. Ndak bisa libur mendadak. Besok saja saya bingung berangkatnya bagaimana, ndak tahu juga daerah sini," jujur ku. Malu sebenarnya, tapi aku juga tidak tahu daerah sini dan angkutan di sini.
Aku melihat ning Firda tersenyum ke arahku. Posisiku masih sama menunduk.
"Besok biar mbak santri yang antar, ya. Kalau buat ganti besok pakai gamis saya dulu saja biar bisa langsung berangkat kerja," katanya. Kenapa beliau baik sekali?
"Nggeh, Ning, tapi apa ndak merepotkan?" tanyaku tidak enak hati.
"Ndak sama sekali. Sampean sudah saya anggap adik saya sendiri." Aku tersenyum dan mengangguk. Beliau baik sekali.
"Saya dari dulu pengen punya adik perempuan, Nduk, tapi ya gitu, punyanya adik laki-laki. Disuruh nikah belum mau," curhatnya padaku. Mungkin saja Aziz-Aziz tadi adiknya. Sok tahu sekali kamu Nur. Batinku.
"Saya pikir tadi mau menjodohkan sampean sama adik saya--"
"Uhuk.." aku tersedak air putih yang aku minum.
"Pelan-pelan, Nduk." Aku cuma mengangguk. Ning Firda baik banget.
"Terima kasih, Ning." Beliau mengangguk.
Suasana kembali hening lagi. Aku bingung duduk di dapur dengan posisi hening malam ini. Malu sekali aku.
"Oh iya sampai lupa, sampean namanya siapa?" Iya juga ya, aku tahu nama beliau tapi beliau tidak tahu namaku hehe lupa.
"Fajrina Nur Riza, Ning. Panggil saja Riza." Ning Firda mengangguk.
"Tapi saya panggil Nduk, ndak pa-pa kan?" tanya ning Firda. Aku berasa anaknya kalau kaya gini.
"Ndak pa-pa, Ning." Kami sama-sama tersenyum dan menghabiskan malam berdua sampai pukul sepuluh malam ning Firda menyuruhku untuk tidur, besok bangun pagi.
****
Malam ini saya memikirkan bagaimana menyerahkan balasan ini. Sedangkan saya saja masih tidur dengan badan yang lemas.
Tidak mungkin juga kalau saya menyuruh kang Ali ke sini, apa gadis itu juga menunggu balasan dari saya? Sepertinya tidak.
"Kok belum tidur?" tanya umi tepat di depan pintu kamar saya yang memang sengaja tidak pernah saya kunci kecuali sedang berganti pakaian.
"Belum, Mi. Umi juga belum tidur kenapa?" Ini sudah malam, susana di luar pun sepertinya kembali hujan.
"Hujan buat Umi takut, Le mau tidur," seperti inilah jika musim hujan. Umi selalu khawatir.
"Kamu tidur, Le, biar cepet sembuh. Sudah bujang kok masuk angin ndak bisa bangun. Kasian istri sampean nanti pasti susah ngurusin sampean." Saya hanya tersenyum. Memikirkan tentang istri saja saya jarang, bahkan bisa dibilang tidak pernah memikirkannya.
"Kan ada Umi. Lagian kalau Aziz sakit jadi diperhatikan, Umi." Umi terkekeh begitu juga dengan saya. Dua puluh tiga tahun tidak membuat kemanjaan saya hilang.
"Sudah saatnya Umi pensiun mengurus mu. Cari istri, apa mau dicarikan? Apa sedang ada yang dipikirkan, sampai sakit begini?" Introgasi umi. Saya bingung harus jawab apa.
"Kalau dicarikan langsung Umi sama Abah yang cari? Atau lewat Mbak Firda sama Mas Adnan?" Beginilah, mereka sering berdiskusi tanpa sepengetahuan saya.
"Umi dan Abah carikan, tapi Mbakyumu juga carikan. Nanti tinggal dipilih saja sreg nya sama yang mana." Saya hanya mengangguk. Membahas persoalan jodoh memang tidak ada habisnya.
*****
"Riza, Nduk, bangun." Kali ini budhe yang membangunkan ku. Astagfirullah, ada apa?
"Iya Budhe, ada apa?" tanyaku panik.
"Ndak usah tegang gitu, Budhe hanya mau ke kamar mandi, mau salat tahajud. Minta tolong bantuin Budhe ke kamar mandi, ya." Aku mengangguk dan memapah budhe ke kamar mandi. Untung saja ada kamar mandi dalam jadi tidak usah keluar.
Sepertiga malam ini juga terasa lebih dingin. Atau hanya karena aku saja yang merasakannya? Entahlah.
"Kamu mau sekalian salat tahajjud apa mau lanjut tidur?" Sepertinya salat tahajud saja. Sudah bangun tidur lagi bisa-bisa jadi orang yang merugi.
"Ikut saja, budhe. Riza wudhu dulu," aku berpikir sejenak.
Biasanya di rumah aku sering bangun ketika waktu subuh bukan diwaktu sepertiga malam seperti ini.
Menjadi teman budhe membuatku merasa bahwa ada sedikit kenyamanan di sini.
****
Sampai sini bagaimana? Ada rindu yang sudah terobati kah atau justru membosankan?
Ditunggu jejak dan komentarnya❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...