"Terlalu memikirkan hanya membuat saya jadi seseorang yang bisa dibilang merindu"
****
Seminggu setelah kejadian pertemuan itu. Bukan pertemuan sih sebenarnya. Kan hanya saya yang melihat dan dia tidak tahu apa pun tentang saya.
Setelah kejadian sore itu, saya jadi semakin gencar ke koperasi, walaupun hasilnya nihil. Saya tidak lagi melihat gadis bergamis itu, hanya temannya saja yang saya lihat.
Saya masih penasaran. Gadis yang bercelana pun tidak lagi membeli bensin di koperasi asuhan kang Ali ini.
"Mikirin apa, Gus?" Lamunan saya buyar, lagi-lagi kang Ali mengagetkan.
Ah, berbicara tentang kang Ali. Saya dan kang Ali jadi semakin dekat, tidak jarang kang Ali bercerita tentang semua keinginannya. Saya hanya jadi pendengar dan sesekali memberikan solusi.
Dan itu hanya berlaku pada kang Ali, bukan saya juga ikut bercerita. Saya masih bisa memendam, meskipun masih ada banyak pertanyaan yang sampai saat ini saya saja tidak tahu kapan akan saya tanyakan.
"Saya kang? Ndak mikirin siapa-siapa." Kang Ali hanya mengangguk. Hening lagi, saya rasa jika saya diam bayangan gadis itu selalu menghantui saya.
"Gus, saya suka sama santri putri sini, tapi saya takut bilangnya." Dan dimulailah sesi curhat untuk kang Ali.
"Kang Ali tahu nama sama alamat rumahnya?" tanya saya, kang Ali hanya menautkan kedua alisnya. Mungkin bingung.
"Buat apa, Gus?" Masih sama, dengan kerutan di dahinya.
"Datangi saja kedua orang tuanya kalau misalnya kang Ali serius. Daripada rasa suka kang Ali jadi zina pikiran,"
Sebenarnya saya merutuki ucapan saya sendiri. Selama melihat gadis bergamis itu pikiran saya isinya hanya gadis itu. Gadis dengan senyum bahkan ketawa renyahnya kala itu.
"Apa ndak terlalu cepat gus?" Kang Ali tampak bingung dengan kembali bertanya.
"Bukannya lebih cepat lebih baik, Kang? Lagipula Kang Umar juga sudah menikah, apa Kang Ali ndak pengen kaya Kang Umar?" Bijak sekali saya, padahal saya sendiri saja masih enggan untuk menikah. Saya takut pertanyaan ini jadi boomerang untuk saya sendiri.
"Pengen sih Gus, tapi apa saya sudah mampu. Lagipula saya lihat Gus Aziz juga sudah mampu, apalagi dari segi agama,"
Benar bukan, pertanyaan saya jadi boomerang untuk saya sendiri.
"Kalau saya masih muda Kang, masih mau jadi PNS." Kami berdua tertawa, entahlah obrolan berat ataupun ringan pasti berakhir dengan tawa. Meskipun yang saya rasakan di hati ada kehampaan dan pikiran saya dibayangi gadis bergamis cokelat dengan memakai mantel tertawa renyah. Saya suka melihatnya tertawa.
"Gus Aziz, ada-ada saja."
Semakin sore obrolan semakin ngelantur, bukan saya yang bercerita. Hanya kang Ali yang sering kali membuat saya kembali tertawa.
Sampai jam di pergelangan tangan saya menunjukkan pukul lima lebih. Dan biasanya saya lihat gadis sebrang itu pulang.
Semoga kali ini bersama dengan gadis bergamis minggu lalu.
Ah, Aziz jangan katakan kamu rindu! Ini tidak benar, jangan begitu lah Ziz.
Saya memutuskan untuk ikut melayani pelanggan kang Ali hanya khusus laki-laki. Biarlah yang perempuan dilayani kang Ali, walaupun sesekali santri puteri ingin mencari perhatian dengan bertanya barang di sekitar saya, tapi mohon maaf saya tak tahu harga, kan berkahir yang menjawab kang Ali.
"Permisi, Gus. Ini oky jellinya harganya berapa, ya?" tanya salah satu santri putrri yang sedari masuk koperasi tatapannya sudah langsung tertuju pada saya meskipun saya hanya melihat sekilas.
"Kang, ini berapa?" tanya saya pada kang Ali dengan mengangkat satu gelas oky jelli.
"Seribu lima ratus, Gus," singkat kang Ali karena masih sibuk menghitung belanjaan santri yang lain.
"Sudah tahu, kan?" Santri puteri itu sepertinya tidak menyerah dengan kembali bertanya pada saya.
Berakhirlah saya yang harus menyerah dan memilih berpindah tugas dengan kang Ali.
"Kang, saya hitungkan. Ini Mbak nya dijualin dulu," kang Ali hanya mengangguk dan berpindah tempat dengan saya.
Setelah kejadian itu saya kembali melihat lalu-lalang jalan yang semakin ramai. Ternyata begini, ya suasana sore yang tidak hujan, lebih ramai.
****
"Tadi kenapa, Gus. Sepertinya kesal?" Saya menoleh ke arah kang Ali yang bertanya.
"Ndak, Kang. Hanya risi saja ditanya banyak hal sama santri putri," singkat saya. Ah mood saya sedang tidak baik-baik saja.
"Tapi lagi ndak kangen gadis bergamis, kan?" Sepertinya kang Ali mulai menggoda.
Saya hanya mengangkat bahu tanda tidak mengerti tentang apa yang sedang saya pikirkan. Entahlah.
"Sebentar lagi juga lewat, Gus," kata kang Ali, sontak membuat saya menatapnya.
"Maksudnya?" tanya saya tidak paham.
"Sudah seminggu, biasanya seminggu sekali gadis itu lewat. Kan jatahnya isi bensin di pom," jelas kang Ali. Ini sedang tidak bercanda kan?
"Kata siapa?" Jiwa penasaran saya kembali tergugah ternyata.
"Kata gadis desa sebrang waktu itu, Gus. Sudah lama, sebelum Gus sering bantuin saya di koperasi." Saya mulai paham, yang saya tidak paham adalah jawaban kang Ali. Apa kang Ali bertanya langsung dengan gadis seberang tentang jadwal pembelian bensin itu?
"Kang Ali tanya gadis seberang tentang gadis bergamis?" Ah saya terlalu polos.
"Bisa dibilang saya tanya gadis bergamis, tapi yang jawab gadis seberang, Gus. Ya, dia yang mewakili." Saya kembali mengangguk. Sepertinya gadis bergamis pemalu.
"Kenapa ndak dijawab gadis bergamis saja, Kang?" Memang sepertinya bayangannya terlalu kentara, hingga penasaran saya semakin menggebu.
"Dia cuma tersenyum, Gus. Kata gadis seberang memang anaknya pemalu." Tepat seperti dugaan saya. Dia pemalu.
"Boleh minta kertas sama pinjam bolpoin, Kang?" Kang Ali mengangguk dan memberikan apa yang saya minta.
Mungkin dengan cara ini saya bisa kenal gadis dengan itu.
*****
Cek typo hehe
Jangan lupa tinggalkan jejak❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...