"Berusahalah, jangan pikirkan dulu hasilnya."
***
"Kang nitip ini ya!" Saya memberikan selembar kertas dengan amplop yang saya beli di koperasi. Amplop cokelat bukan amplop kondangan.
"Ini apa, Gus? Buat siapa?" Ah iya saya lupa. Saya menggaruk kepala saya, malu.
"Buat gadis bergamis, barangkali mampir beli bensin, Kang, tapi jangan katakan dari saya, jangan kasih tahu tentang saya juga ya." Kang Ali hanya menatap saya bingung.
"Bilang saja dari Kang santri gitu, Kang," selebihnya kang Ali hanya mengangguk. Terima kasih kang.
Hening, saya kembali ke pemikiran saya lagi. Dan kang Ali fokus dengan beberapa daftar belanjaan bulan ini.
Saya sebenarnya ingin membantu kang Ali, tapi perasaan saya sedang tak karuan. Takut nanti salah kasian juga kan kang Ali?
****
"Lanwon, Assalamu'alaikum. Kang bensinnya satu." Saya urung pulang ketika ada dua wanita yang tiba-tiba datang dengan motor mereka masing-masing.
Ini yang saya tunggu, gadis bergamis datang. Benar apa kata kang Ali.
Tapi tatapannya tidak seceria kemarin. Astagfirullah, ingat zina Ziz.
"Wa'alaikumussalam. Eh, si Mbak datang lagi berdua. Pasti habis isi bensin ya?" tanya kang Ali, sepertinya mereka sudah akrab.
Saya jadi pesimis dengan surat yang saya titipkan di kang Ali tadi. Bagaimana nanti responnya ya?
"Iya, Kang. Biasa si Nur kehabisan bensin." sudah jelas yang menjawab gadis bercelana. Yang disebut namanya Nur hanya tersenyum bahkan sangat tipis.
"Oh iya, Mbak ini ada titipan surat buat temannya." saya cuma bisa doa, semoga saja diterima. Tatapannya kali ini bertambah dingin. Saya jadi tambah penasaran.
"Buat Nur, Kang? Ndak salah? Dari siapa?" Kenapa temannya bawel sekali sih. Saya kan juga ingin dengar suara Nur, gadis bergamis itu.
"Iya, Mbak. Buat temannya, dari kang santri di sini, Mbak," jawaban kang Ali buat saya lega meskipun dengan melirik saya sekilas. Semoga mereka tidak peka akan lirikan kang Ali.
"Nur, itu surat buat kamu, gih diterima. Siapa tahu jodoh, Nur. Daripada jomblo terus," tawa teman gadis bergamis menggema sedang yang ditertawakan hanya memanyunkan bibirnya. Kenapa saya yang gemas hmm.
"Ndak usah ngece. Jomblo sampai halal aku mah," mereka berdua tertawa.
"Kang, carikan teman aku jodoh nih, kasihan jomblo terus gagal move on terus," kata gadis bercelana membuat yang di ejek hanya bisa mendelik kan netranya. Lucu sekali dia.
"Mbak, sama teman saya saja tuh," memang dasar kang Ali ngawur. Untung saja saya ndak ketahuan sedang memperhatikannya.
Untuk sepersekian detik netra kami bertemu, gadis bergamis mengangguk, menyapa hanya dengan senyum itupun tipis.
Bagaimana dengan saya? MasyaAllah ingin terbang rasanya. Manis sekali.
Sesekali kang Ali memberi kode dari lirikan matanya. Saya tahu hanya pura-pura tidak tahu. Takut ketahuan
"Kang bensinnya masih sama kan?" tanya gadis bercelana.
"Masih, Mbak. Mau nambah juga ndak pa-pa," gurau kang Ali. Kali ini saya ikut tersenyum simpul.
"Ini, Kang. Kembaliannya ambil saja," katanya menyodorkan uang selembar sepuluh ribuan.
"Terima kasih, Mbak. Sering-sering aja gini," kata kang Ali menimpali sebelum akhirnya mereka pamit untuk melanjutkan perjalanan pulang.
"Mari, Kang," sapa gadis bercelana sedang gadis bergamis hanya tersenyum dan mengangguk.
MasyaAllah, nikmat mana lagi yang engkau dusta kan.
Senyumnya begitu manis. Hatiku kembali menghangat, setidaknya saya tahu namanya Nur.
"Gus, jangan senyum-senyum sendiri." Saya terlonjak kaget. Ah, kang Ali membuyarkan lamunan saya.
"Terima kasih, Kang. Saya pulang dulu. Assalamu'alaikum," pamit saya.
"Wa'alaikumussalam. Jangan dibayangin terus, Gus." Pandai sekali kang Ali menggoda saya.
Dan sepertinya mulai hari ini saya akan sulit menghilangkan bayangan gadis bergamis yang penuh teka-teki itu.
*****
Malam ini seusai isya abah bilang pada saya jika tidak bisa mengajar kitab untuk santri putera. Jadilah saya yang menggantikan.
Untunglah ada tugas dari abah jadi tidak terlalu memikirkan bayangan gadis bergamis.
"Perdalam kitab yang kemarin saja, ya. Nanti saya cek," intrupsi saya pada santri.
Malam ini saya jadi ingin cepat pulang, meskipun pulang buat saya kembali membayangkannya. Astagfirullah, Ziz. Ilingo zina!
****
Tbc hehehe
Jangan lupa tinggalkan jejak❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...