Tatapan

629 52 1
                                    

"Menjadi seseorang yang dipercaya itu berat"

****

Pagi kembali menyapa. Sudah sejak jam tiga pagi aku bangun sampai mentari menampakkan sinarnya.

Niatku membantu ning Firda urung karena tatapan mbak dalem yang seperti ingin membunuh. Bukan suudzan hanya saja tatapan teduh dan mengintimidasi jelas beda.

Aku berangkat sesuai apa kata ning Firda, diantar mbak santri yang bertugas berbelanja.

"Mbak namanya siapa? Mbak kerja di mana?" tanya mbak santri yang memboncengkanku.

Jangan heran, pagi ini beneran aku memakai gamis milik ning Firda.

"Nama saya Nur, Mbak. Saya kerja di Toko mutiara sejati, Mbak. Sebelah new buket itu."
Mbak santri mengangguk dan melajukan motornya dengan santai.

"Mbak ada hubungan apa sama, Bu Nyai?" tanyanya dengan berteriak. Siapa aku? Bukan siapa-siapa.

"Gus Adnan teman Abang ipar saya, Mbak. Jadi sekedar kerabat ketemu gede," aku terkekeh, begitu juga mbak santri yang memboncengkan ku. Yang aku ketahui bernama Fara.

"Oh, tapi deket banget ya, Mbak. Saya kira mbak calonnya Gus Aziz," kata mbak Fara.

Kenapa selalu dikaitkan dengan gus Aziz siapa sih dia?

"Bukan, Mbak. Lagian saya ndak kenal juga," kami sama-sama diam setelah pertanyaan tentang jodoh dan perjodohan.

****

Suasana pagi ini masih seperti biasa. Namanya pasar mau pagi ataupun siang tetap tempatnya setan.

Banyak orang lalu lalang, banyak pula yang sekedar ghibah antar pedagang. Hal lumrah, makanya dibilang tempatnya setan. Selalu banyak yang bermaksiat, entah ghibah atau bohong soal barang dagangan. Astagfirullah.

"Baju baru Alhamdulillah," teriak Najma dengan nada ala-ala penyanyi qosidah antar kecamatan. Sabar kan aku ya Allah.

"Baju siapa?" tanya Laila yang entah sejak kapan sudah berada pada kursi singgasananya.

"Tuh, si Nur," tunjuknya padaku.

Mereka tidak tahu saja bagaimana semalam aku melawan untuk memejamkan mata karena tidak tidur di kamar sendiri.

Ning Firda yang berbaik hati meminjamkan baju sebagus ini. Aku anggap ini kado untukku yang besok pasti aku kembalikan.

"Nyapu woy ngalamun bae." Astagfirullah. Teriakannya seperti di hutan, memang salah apa aku?

"Mikirin kang santri lagi tuh, belum dapat balasan kan?" lanjut Najma bertanya. Aku mengangguk lemah, bukan itu yang aku pikirkan.

"Rindu ceritanya? Terus yang satu desa bagaimana nasibnya, Ibu Nur? Dan yang di Jepang, bagaimana kabarnya?" Sekata-kata saja mereka.

Jika saja bisa lenyap saat ini juga, aku ingin kembali ke rumah. Mendengarkan ejekan mereka hanya bikin jengkel saja.

Aku menyelesaikan pekerjaanku, menyapu sekaligus mengepel sebelum toko aku buka.

Salam RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang