"Satu ketakutan hanya akan membuat imanmu lemah. Percayalah Tuhan selalu melindungi makhlukNya yang senantiasa mengingatNya"
****
Benar saja, aku pulang dalam kondisi basah kuyup. Hujan mengguyur sebagian desa termasuk desa gus Adnan. Untung saja tidak ada apa-apa meskipun kondisi jalan sepi tanpa penerangan apapun.
"Ngapunten, Ning. Saya pulang terlambat sekali," ucapku setelah salam, aku tidak enak jika terlambat seperti ini.
Kondisiku bisa dibilang mengenaskan, semua basah. Padahal sudah menggunakan mantel pun tetap saja tembus sampai dalam, dingin sekali.
"Sudah, ndak usah minta maaf, sekarang ganti baju dulu. Saya ndak masalah yang penting sampean ndak pa-pa," bersyukurnya aku bisa mengenal keluarga beliau ini.
"Maturnuwun, Ning. Riza ke kamar dulu. Assalamu'alaikum," pamitku dengan nada yang agak bergetar, sungguh ini sangat dingin.
Badanku terasa menggigil dan berat, ingin rasanya langsung merebahkan badan saja. Oh Allah apa hamba salah karena sudah pulang begitu larut seperti ini.
Aku masuk ke kamar mandi yang tersedia di kamar yang aku tempati bersama dengan budhe, suhu tubuhku rasanya sangat panas namun yang aku rasakan hanya dingin.
"Dingin banget hmm," gumamku saat sampai di kamar mandi.
Semogaku hanya satu, jangan sampai pingsan dan merepotkan keluarga dhalem lagi.
Sepuluh menit aku sudah selesai dengan baju hangat dan jilbab yang sudah melingkar dikepala. Tetap saja masih terasa dingin.
"Kampu pucet banget, Nduk, kenapa?" Aku tersentak kaget, suara budhe memaksaku untuk menatapnya dengan senyum yang sebenarnya sangat berat aku sunggingkan.
"Ndak pa-pa, Budhe. Tadi Riza cuma kehujanan," cicitku lirih, jujur saja ini sangatlah pusing.
"Beneran?" Aku hanya menganggu hingga setelahnya aku tak sadarkan diri meski masih sedikit mendengar teriakan budhe memanggil ning Firda dan gus Adnan.
****
"Astagfirullah, Nduk! Kenapa bisa seperti ini?"
Suasana masih menegangkan. Nur juga belum sadarkan diri setelah insiden pingsan di depan kamar mandi.
Suhu tubuhnya masih panas, masih pula terpejam meskipun sudah dikopres oleh ning Firda.
"Dokternya sebentar lagi sampai, Mi. Kita tunggu di sini saja." Ning Firda mengangguk atas pemberitahuan gus Adnan sang suami.
"Iya, Bi. Oh iya, Budhe istirahat saja. Biar kita yang jaaga Riza," suruh ning Firda, namun tetap saja budhe kekeh akan ikut menjaga Nur yang masih setia dengan pingsannya.
"Assalamu'alaikum," salam dua orang dari arah pintu.
"Wa'alaikumussalam,"
"Monggo mlebet mawon, Bu," suruh ning Firda mempersilahkan dokter Nita, dokter langganan keluarga gus Rouf yang datang dengan khadimah suruhan ning Firda tadi.
"Nggeh, Nyai,"
Dokter Nita mulai memeriksa kondisi Nur yang masih setia dengan ketidaksadarannya.
"Begini, Nyai. Mbaknya hanya kecapekan sama tensinya rendah jadi sampai pingsan. Nanti saya berikan obat penurun panas, Nyai. InsyaAllah besok sudah bisa beraktifitas lagi, tapi kalau bisa istirahat dulu saja biar tensinya stabil lagi," jelas dokter Nita dengan detail.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...