Masalalu

588 64 15
                                    

"Jangan hidup di masa lalu tapi belajarlah dari masa lalu"

****

Untuk kesekian kalinya saya beristigfar, bayangan masa lalu kembali menghantui saya. Bayangan kebahagiaan hingga luka datang tanpa saya suruh bahkan menetap tanpa mau lenyap.

Posisi saya sedang tak bisa dikatakan baik-baik saja, setelah saya mengatakan akan kembali ke dhalem ternyata keadaan sudah ramai, ada kyai Makmun dan nyai serta ning Nisa. Beliau berdua kedua orang tua ning Nisa.

Saya ke taman belakang dhalem, umi mengatakan jika ada ning Nisa yang menunggu saya di sana. Saya hanya berdoa setelah ini hati saya akan baik-baik saja.

"Assalamu'alaikum, Ning, maaf lama." Saya mencoba mencairkan suasana yang menurut saya tak nyaman sama sekali.

Posisi saya jauh dari ning Nisa yang duduk di depan kolam ikan milik abah.

"Wa'alaikumussalam, Gus, ndak masalah, Gus." Saya tersenyum, masih seperti ning Nisa yang dulu.


Hening, ning Nisa tak bersuara lagi. Saya bingung harus diam atau memilih membuka obrolan, saya tak pandai dalam hal basa basi.

"Selamat, Gus untuk lamarannya semoga dilancarkan sampai ijab qobul juga resepsinya. Saya ikut bahagia," ada rasa sakit di hati saya.

Saya yakin ning Nisa sedang tidak baik-baik saja.

"Matur nuwun, Ning. Jangan lupa datang." Saya tak yakin mengucapkan ini. Tapi apa boleh buat.

"Pasti datang, Gus!" ingin rasanya saya menikahi gadis didepan saya ini. Kekecewaan tak membuat rasa saya sepenuhnya hilang.

"Alhamdulillah, apa saya boleh bertanya, Ning?" Saya tak yakin, tapi saya juga penasaran.

"Silakan, Gus,"

"Apa njenengan sudah bersuami?" Entah pertanyaan itu lolos begitu saja di mulut saya.

"Belum," ada sedikit kekehan di jawaban ning Nisa, tapi saya yakin ini kekehan tak baik-baik saja.

"Saya menunggu laki-laki yang ternyata akan menikah." Saya tersentak, ada rasa bersalah. Namun apa ini saya?

"Maksud njenengan?" Saya tak paham.

"Saya menunggu njenengan, Gus. Maaf untuk kesalahan saya yang lalu. Yang mendadak pergi bahkan hanya menyisakan waktu satu jam untuk salam perpisahan. Maaf saya datang diwaktu yang tak tepat, saya baru kembali untuk berkabar dan berlanjut namun ternyata takdir Allah tak menginginkan saya bersatu dengan njenengan." apakah saya harus bahagia? Ataukah saya harus patah saat ini juga?

Saya tak tahu rasa saya. Tak sepenuhnya salah ning Nisa saya pun salah tak mau berusaha menunggunya.

Saya hanya masih kecewa tentang kepergiannya yang hampir lima tahun ini, saya berusaha bangkit bahkan menjatuhkan hati pada wanita yang menurut saya tepat, hingga jatuh pada gadis bergamis yang memang ternyata bukan jodoh saya. Bukan takdir saya, bahkan saya harus rela dijodohkan dengan wanita yang sampai saat ini saya tak tahu siapa namanya dan bagaimana wujudnya, bukankah ini seperti lelucon kuno?

Salam RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang