Pernyataan-Kenyataan

563 57 13
                                    

"Bahkan tentang rasamu sendiri pun terasa begitu abu-abu"

****

Aku sudah duduk di samping ibu, tak ada pembicaraan hanya ada suara denting jam dan televisi yang menayangkan sinetron kebanggaan.

"Nduk!" aku menoleh setelah ibu menyentuh pahaku, kenapa jadi sendu seperti ini? Nada ibu pun tak terlihat baik-baik saja.

"Dalem, Bu," singkat ku masih dengan menatap malaikat tak bersayap yang sudah rela bertaruh nyawa bahkan tanpa segan merawat dan membesarkan putri cerobohnya ini.

"Bagaimana keputusan sampean?" Ada raut berharap dari pertanyaan ibu.

Aku semakin tak enak hati, yang aku pikirkan saat ini hanya aku tak boleh egois hanya itu.

"InsyaAllah, Riza terima, Bu," cicit ku lirih, ada perasaan tak rela namun melegakan. Ada yang hilang namun menyelamatkan.

Menyelamatkan senyum bapak sekaligus ibu, aku ikut bahagia meskipun berat rasanya harus menerima perjodohan di zaman yang terbilang sudah moderen ini.

"Alhamdulillah, sebentar, Nduk," aku tak tahu ibu akan kemana yang jelas raut wajahnya sudah berseri.

Hening, hanya ada aku dan bapak saja. Tak ada yang lain selain beliau yang hanya diam dengan wajah berseri meski tanpa senyuman.

Mungkin dari situ bisa disimpulkan bahwa sifatku menurun dari bapak yang pendiam namun hangat bahkan selalu perhatian.

"Pakai ini." ibu menyodorkan sebuah kota yang terbuka. Cantik, batinku.

Cincin dengan aksen permata biru dan putih yang menambah kesan elegan. Aku suka

"Tapi ini...."

"Sudah pakai saja, itu dari besan mu, Nduk. Terima ya, sebagai bukti sampean mau dipinang," jelas ibu yang membuat hatiku menghangat bahkan sedikit tersayat. Ada apa denganku?

"Nggeh, Bu," aku menerima cincin pemberian ibu dan langsung memakainya. Entahlah kenapa ukurannya saja bisa pas seperti ini.

"Kok nangis? Sampean terpaksa, Nduk?" Aku menggeleng, entahlah kenapa aku tak bisa menahan tangis seperti ini.

"Riza bahagia, Bu. Maturnuwun," aku memeluk ibu erat. Ada rasa yang tak seharusnya aku rasakan. Rasa kehilangan kang sorban yang tampan, bahkan bayangannya pun selalu membuatku takut jika aku menaruh rasa padanya.

"Sama-sama. Jadilah istri yang baik ya, Nduk. Nurut sama suami," aku mengangguk dan kembali memeluk ibu, apakah pelukan ini nantinya akan aku rindukan?

"Tanggal pernikahannya satu bulan lagi, Nduk," aku masih memeluk ibu bahkan lebih erat ketika bapak berkata begitu.

Tuhan, aku sedang tidak bermimpi kan?

****

Saya cemas, banyak hal yang saya pikirkan terutama balasan dari saya. Akankah menyakiti hati gadis bergamis?

Jika saja saya berani menolak abah saya sudah mengkhitbah gadis bergamis untuk saya jadikan istri saya nantinya.

Tapi sayang, saya tak berani membantah apa kata abah bahkan pilihan abah sekaligus, semua kembali pada bakti serta adab. Tak mungkin saya menolak dan pantang lagi saya mempermalukan abah, saya tak seberani itu.

"Gus, kenapa melamun?" Lamunan saya buyar. Saya memang sedang di luar tepat di depan asrama bersama kang Ali dan Umam santri abah.

"Ndak, Kang," elak saya, tak mungkin saya bercerita tentang perjodohan saya dan kecemasan saya pada gadis bergamis.

"Gus, ndak biasanya jenengan melamun terus, bukan saya ikut campur hanya saja aneh, Gus. Gus Aziz yang suka mendengar segala cerita saya kenapa tadi hanya diam dengan tatapan kosongnya? Ceritalah, Gus kalau jenengan sedang ada masalah," saya tersenyum dan menggaruk belakang kepala saya, ternyata ketahuan juga oleh ungkapan Umam.

"Maaf," hanya itu yang saya ucapkan.

"Apa ada hubungannya sama gadis bergamis, Gus?" Saya tersenyum. Kang Ali selalu tahu apa yang saya rasakan.

"Gadis bergamis siapa, Kang?" Aduh, anak kecil ini ikutan saja.

"Hus anak kecil ndak boleh ikutan masalah orang gede," saya terkekeh, memang kang Ali ada-ada saja. Umam pasti sudah paham, usianya sudah menginjak delapan belas tahun pasti paham masalah asmara bahkan jatuh cinta.

"Duh Kang, aku sudah puber jadi paham lah dikit." Kang Ali melotot, sedang saya sudah geleng-geleng kepala. Memang jika mereka sudah berkumpul pasti seperti ini.

"Jadi bagaimana, Gus?" tanya kang Ali lagi.

"Apanya?" Kang Ali tersentak. Memangnya ada yang salah?

"Itu gadis bergamis," saya mengangguk dan menghirup udara hanya sekedar memberi ruang untuk hati saya.

"Saya ndak tahu lagi, Kang. Yang jelas saya sudah dijodohkan." Saya tersenyum sekilas.

Ada perasaan tak rela melepaskan gadis bergamis yang senyumnya saja sudah terpatri di ingatan saya.

"Gus ndak bercanda? Lalu bagaimana nasib gadis bergamis, Gus?" Saya menggeleng.

"Saya undang waktu saya menikah nanti, Kang," singkat saya, tak mau lagi membuat hati saya sakit.

"Jadi balasan tadi..."

"Iya, Kang," singkat saya memotong ucapan kang Ali.

"Saya ikut senang Gus, tapi saya juga sedih. Aduh bagaimana, ya." Saya paham saya juga tahu bagaimana perasaan kang Ali. Perasaan bahagia sekaligus bingung.

"Iya, Kang saya paham. Doakan saya saja, ya," putus saya tak mau berlama-lama membahas permasalahan yang akan membuat saya tak rela nantinya.

Takdir tak akan bercanda, tak ada yang lucu jika ada air mata.

Tuhan tak akan memberikan apa yang kita inginkan melainkan memberikan apa yang kita butuhkan.

Saya tahu mungkin dari itu yang saya butuhkan pendamping terbaik menurut pilihan Allah bukan pilihan saya.

Berikanlah cinta untuk istri hamba nantinya Ya Allah, dan hilangkan lah rasa yang bukan pada tempatnya ini. Hamba rela hamba ikhlas

****

Lanjutin enggak nih?

Author lagi dalam mode blak bener-bener lagi butuh banget sesuatu buat penyegaran huhu
Mana grubnya sepi, saya bingung benar-benar bingung harus gimana, lagi stuck banget astagfirullah

Maaf saya jadi curhat hehe

Barangkali ada yang mau gabung grub silahkan

Barangkali ada yang mau menyemangati juga silahkan

Ramaikan lapak ini, author juga butuh dihibur dilapak meski dengan saran bahkan kritik kalian

Jazakallahu khairan katsir❤️

Salam RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang