"Aku akan diam, tapi katakan yang sejujurnya"
****
Aku sudah tahu akan gus Aziz, suamiku. Rasanya tak mungkin tapi ini kenyataannya. Beliau yang menjabat tangan ayah bahkan berjanji akan membahagiakan dan menjaga bahkan bertanggung jawab tentangku.
Tuhan untuk saat ini bolehkah aku menghilang? Bolehkah ini semua hanya mimpi? Bangunkan aku, agar aku tak terlalu kalut untuk menyadari semuanya memanglah kenyataan.
"Ndak mau ganti?" Aku tersentak setelah suara berat itu menginterupsi. Ini masih di kamarku dan Jihan yang terpaksa boyong karena aku sudah bersuami, bukankah ini masih seperti mimpi?
"Mau, Gus permisi," singkat ku. Masih terbilang aku cuek dan tak menatap beliau jika bicara.
Maaf untuk saat ini aku belum bisa menatap jenengan secara blak-blakan. Aku masih butuh penjelasan.
Aku kembali, sudah dengan pakaian tidur dan tak lupa khimar yang melekat di kepala. Tak mungkin kan aku langsung lepas, malu lah.
Aku masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Canggung sekali rasanya, harus bagaimana aku?
"Ndak mau istirahat?" tanyanya. Aku menggeleng, masih ada yang harus aku tanyakan.
"Lalu?" tanya beliau lagi.
"Saya mau tanya, Gus," akhirnya kata itu yang keluar dari mulutku.
Gus Aziz tampak menepuk tepi ranjang sebelahnya yang kosong, maksudnya aku disuruh duduk di sana?
Aku menurut meski masih dengan jarak dan jangan tanyakan bagaimana keadaan hatiku.
"Tanyakan yang membuat sampean lega nantinya, InsyaAllah saya jawab," jelasnya. Kalau sudah begini kan aku leluasa bertanya.
****
Suasana masih hening baik saya ataupun Nur tak ada yang bersuara. Nur pun tak kunjung bertanya.
"Kenapa Jenengan ndak mengatakan yang sejujurnya?" Saya tak paham akan pertanyaan Nur ini.
"Maksudnya?" Jujur saya bingung.
"Kenapa Jenengan ndak pernah bilang tentang siapa Jenenengan sebenarnya." Saya mengangguk, saya tahu akan saya jelaskan semuanya malam ini.
"Untuk apa? Saya ndak mau semua melihat saya karena posisi Abah, saya hanya ingin menjadi diri saya sendiri. Salah?" Tak pernah saya berkata sepanjang ini jika bukan dengan orang tertentu.
"Mboten, saya hanya merasa ndak sopan dengan putra guru saya sendiri, Gus." Ada nada bergetar pada suaranya. Allah apa hamba menyakiti istri hamba?
"Jangan pernah merasa begitu, saya juga manusia banyak salah dan dosa," sergah saya.
"Lalu tentang nama, jenengan?" Pertanyaan satu ini buat saya menegang, apa yang akan terjadi setelah ini?
"Saya minta kertas ada?" tanya saya, dan langsung diambilkan kertas oleh gadis bergamis istri saya.
"Tuhan maha baik hingga mempertemukan saya dan sampean dengan caranya yang begitu indah" hanya itu yang saya tulis
Lalu saya berikan. Dan untuk yang satu ini air mata gadis bergamis menetes, adakah yang salah dengan tulisan saya?
"Jadi, Jenengan Muhammad Nur Barra Al-Aziz. Sama dengan kang santri penitip surat dan sorban itu?" tanyanya dengan suara bergetar.
Allah ingin rasanya hamba memeluk wanita di depan hamba ini.
"Iya, saya yang menggombal, saya yang lancang hingga saya yang memutus berbalas dan mengirimkan sorban," ucap saya sejujurnya.
"Ya Allah, Gus..." Saya lihat tangisnya pecah, ada yang salah dengan ucapan saya?
"Maafkan saya," hanya itu yang saya katakan.
"Saya ndak mimpi kan, Gus? Kenapa Jenengan berkirim surat bahkan menitipkan sorban? Kenapa Jenengan ndak berusaha menolak saat dijodohkan?" Saya menelan ludah saya dengan susah payah. Akankah setelah ini baik-baik saja?
"Takdir Allah ndak ada yang tahu Nur. Sampean ndak mimpi, saya akan jelaskan semuanya," pasrah saya.
"Baik, saya akan diam dan dengarkan, Gus," saya mengangguk dan mulai mencari udara yang sepertinya seketika menghilang.
"Awalnya saya tak sengaja melihat sampean hingga semakin lama semakin terbayang wajah sampean hingga berani berkirim surat. Saya mengagumi sampean Nur, saya kagum sampean bisa menjaga diri sampean dari pandangan laki-laki, pun sampean selalu terlihat bahagia. Saya suka sampean secara tidak langsung.
"Saya menitipkan sorban karena pikir saya sampean bisa menjadi istri saya dan saya pinang dengan cara saya sendiri, tapi ternyata takdir Allah mempertemukan saya dan sampean sebelum saya sempat melamar bahkan saya sudah mengirim balasan untuk sampean datang ke pernikahan saya dan membawa sorban itu dan maha baik Allah ternyata mempelai wanita saya adalah sampean penyimpan sorban kesayangan saya,"
"Kenapa saya ndak menolak? Itu semua karena birul walidain, saya ndak berani menolak permintaan Abah dan Umi." Saya menghembuskan nafas panjang. Sudah semua saya jelaskan.
"Maaf," ada air mata yang menggenang ketika saya menatap manik mata wanita di depan saya ini.
Apa saya menyakitinya lagi?
"Jangan melulu minta maaf, sampean ndak salah," ucap saya berusaha menenangkan.
Tapi apa yang saya lihat? Nur menangis bahkan sekarang bahunya bergetar, adakah yang salah dengan ucapan saya?
*****
Nur masih menagis sampai bahunya pun ikut bergetar. Ada rasa bahagia bahkan tak percaya apa yang dikatakan gus Aziz padanya. Haruskah ia memeluk gus Aziz ataukah ia harus berdiam dengan air mata yang masih saja membanjiri pipinya ini?
"Hey kenapa menangis?" tanya gus Aziz dengan memegang bahu Nur hingga pandangan mereka bertubrukan.
"Ma--maaf sudah salah sangka, maaf." Nur kembali menunduk setelah mengucapkan kata itu.
"Sudah tak apa, saya juga minta maaf." Gus Aziz masih setia menenangkan Nur dengan mengusap punggung Nur untuk menenangkan istrinya ini.
"Ajari saya dan bimbing saya, Gus," ucap Nur lagi masih dengan suara parau dan sesenggukannya.
"Pasti, kita sama-sama belajar." Gus Aziz tersenyum mengusap air mata istrinya untuk pertama kali.
"Terima kasih," ucap Nur yang langsung menggenggam dan kembali mencium punggung tangan gus Aziz.
"Sama-sama." Gus Aziz pun kembali mencium kening Nur dan merengkuh tubuh Nur yang kembali menangis di pelukan gus Aziz.
Untuk pertama kalinya pasangan ini saling menyalurkan kasih sayang bahkan rindu yang mereka simpan dalam bait doa mereka masing-masing.
Cinta yang halal menjadikan pasangan baru ini saling menyapa tentang status baru mereka, kehidupan dan awal baru untuk mereka.
"Tidurlah di sini, saya akan di bawah," jelas gus Aziz yang mengerti jika istrinya mungkin masih malu akan ini.
"Emm di sebelah saya saja, Gus. Saya skat pakai bantal guling," tolak Nur dengan memberi saran.
Gus Aziz hanya menurut, untuk kali ini beliau selamat dari dinginnya lantai pada malam hari.
*****
Alhamdulillah bisa update pagi hehe
Terimakasih yang masih menunggu cerita ini, salam cinta dari author❤️
Jangan lupa cek typo
Jangan jadi pembaca gelap ih hmmm
Jangan lupa votes dan komentarnya yaa emmm ditunggu taukkJazakallahu khairan katsir❤️
Wonosobo,8 Maret 2020
JuniaR
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...