"Jangan gunakan sebuah predikat hanya untuk sebuah kekuasaan"
****
Nur dan mbak Fara sudah sampai di bangku panjang di sudut taman, bangku yang sengaja disiapkan untuk beristirahat dan berteduh dari teriknya matahari.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Nur?" desak mbak Fara.
Nur kembali menghirup udara yang masuk ke rongga dadanya. Semoga saja mbak Fara bisa dipercaya.
"Mbak Fara bisa Nur percaya, kan?" Mbak Fara mengangguk.
"InsyaAllah Nur, jika itu keinginanmu. Mbak bisa jaga rahasia ini," giliran Nur yang mengangguk dan kembali menghirup udara yang sangat menyegarkan ini.
"Nur ndak tahu Mbak salah Nur di mana. Awalnya, Nur ndak berniat tinggal di sini, Mbak. Ini atas permintaan Bapak sama Ibu untuk menemani Budhe,
"Nur juga ndak paham kehidupan di pesantren seperti apa. Nur hanya bisa menurut, sampai tadi pagi pun Nur izin kerja karena sakit, tapi Nur bosen, Mbak di kamar." Nur menjeda ceritanya, ia kembali menghirup udara.
"Awalnya Nur mau temuin Mbak Fara buat ikut bantuin masak, tapi Nur ragu juga takut sama tatapan santri yang mengintimidasi Nur, Mbak. Belum Nur ketemu Mbak Fara, sudah dipanggil Ning Firda buat diajak keliling asrama putri buat cek kebersihan yang kebetulan hari ini hari ahad, Mbak. Nur ndak bisa nolak ajakan Ning Firda yang sudah berbaik hati sampai saat ini,"
"Jadi sampean ikut keliling, Ning Firda?" Nur mengangguk.
"Iya, Mbak. Sampai di halaman asrama putri Nur dapat banyak tatapan aneh sekaligus bisikan yang buat Nur pengen cepet-cepet pulang, Mbak." Nur menjeda penjelasannya. Ia tersenyum menatap mbak Fara yang menatapnya dengan tatapan aneh yang sulit Nur jelaskan.
"Bu Nyai tahu ndak santrinya begitu?" tanya mbak Fara.
"Nur ndak tahu, Mbak. Yang jelas Ning Firda masih fokus sama kerjaannya, Mbak. Yang ndak habis pikir apa salah Nur ya, Mbak? Apa Nur terlalu lancang berjalan sampai digandeng Ning Firda?" pertanyaan polos Nur membuat mbak Fara percaya bahwa apa yang dikatakan Nur memanglah yang sebenarnya.
"Mereka hanya iri Nur," jelas mbak Fara yang membuat Nur tersenyum miris, apa yang dirikan darinya?
"Apa yang mau mereka iri kan, Mbak? Harusnya Nur yang iri. Dari dulu Nur pingin mondok jadi santri yang bisa menghafal al-Qur'an biar bisa pasangin mahkota buat Ibu sama Bapak, Mbak,
"Yang mereka lihat hanya sebuah hal kecil, harusnya mereka bersyukur bisa diajar Ning Firda. Bisa dapat ilmu dari beliau." Air mata Nur lolos begitu saja. Jika itu alasan santri bersikap seperti itu berarti mereka terlalu menyia-nyiakan apa yang sudah mereka dapat.
"MasyaAllah semoga cita-citamu bisa terwujud ya, Nur meskipun sampean ndak nyantri atau ndak jadi santri. Percayalah ndak ada yang ndak mungkin." Mbak Fara mengusap punggung Nur berusaha menenangkan adik barunya ini.
"Aamiin, maturnuwun, Mbak." mbak Fara mengangguk. Namun, tetap mengusap bahu Nur.
Hening beberapa saat, tangis Nur sudah mereda. Hembusan angin siang membuat udara semakin sejuk. Beberapa daun terlihat berguguran. Andaikan saja Nur seringan daun yang bisa terbang tersapu angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...