"Jika tak ada keinginan untuk melangkah mungkin tak akan pernah ada kata melihat."
****
Sore harinya selepas selesai mengkaji kitab ulang saya memutuskan untuk ke koperasi, hanya sekedar untuk menemani kang Ali yang masih sendiri karena ditinggal nikah kang Umar. Kasihan bukan?
Ini memang kali pertama saya jadi lebih sering ke koperasi, biasanya sore begini saya lakukan untuk sekedar membaca kitab atau memperdalam hafalan agar tidak lupa.
Cuaca kali ini mendukung menurut saya. Hujan memaksakan mbak-mbak santri untuk tidak keluar selepas mengaji sore. Ini kesempatan untuk saya, aman kan? Tak usah takut akan tatapan tajam mbak santri yang siap memangsa saya.
"Gus mau kemana?" tanya kang Ali, sesaat selepas saya celingukan sebelum masuk koperasi.
Dan saya kasih tahu, letak koperasi tepat di depan jalan besar dan berhimpitan dengan asrama puteri. Jadi memungkinkan di sini sering banyak santri putera-puteri yang hanya sekedar caper tanpa niat akan membeli di koperasi.
Banyak juga pembeli dari kalangan warga umum bukan hanya pesantren, kan di pinggir jalan memungkinkan untuk warga sekedar mampir membeli bensin atau jajanan kering.
"Assalamu'alaikum, saya ya mau nemenin sampean." Kang Ali kikuk, mungkin lupa mengucap salam sampai beberapa kali menggaruk belakang kepalanya.
"Wa'alaikumussalam hehe maaf, Gus. Kulo kan sudah biasa sendiri, Gus." Saya tahu, tapi kali ini saya ingin menemani sampean kang. Batin saya.
"Saya cuma lagi pengen tahu suasana koperasi kalau sore, Kang," alibi saya, tapi sepertinya alasan itu cukup baik. Daripada saya bilang kalau bosan di dalem, tidak lucu sama sekali.
"Oh nggeh, Gus. Silakan duduk." Saya duduk sesuai instruksi.
Di depan koperasi hujan semakin deras, saya lupa tidak bawa jaket. Untung ada sorban jadi untuk menghangatkan sedikitlah.
Dan sampai tidak sengaja mata saya melihat dua gadis dengan motor matic mereka masing-masing sedang berteduh dan salah satu memakai mantel dan yang satu hanya mengibaskan gamisnya karena terkena air cipratan dari kendaraan lain.
Anehnya gadis bergamis itu tidak marah hanya sesekali melihat kendaraan yang sudah membuatnya basah terkena cipratan air. Lucu sekali
"Gus, kenapa ketawa?" Lamunan saya buyar. Astagfirullah, kenapa jadi memikirkan gadis itu.
"Ah ndak, Kang. Sampean salah lihat mungkin," alibi saya. Tapi kali ini kang Ali tersenyum seperti menggoda saya.
"Oh liatin gadis itu ya, Gus? Pasti yang pakai gamis ya?" Saya melongo, kenapa bisa tahu?
"Ngawur, saya cuma lagi lihat lalu lalang kendaraan kalau sore kenapa semakin rame ya, Kang?" alibi saya lagi. Kenapa jadi suka sekali mencari alasan. Kamu kenapa Ziz?
"Gadis itu memang sering lewat sini, kayanya sahabatnya yang pakai celana, Gus. Mereka kadang ke sini cuma buat beli bensin." Saya tidak merespon apa kata kang Ali walaupun sebenarnya penasaran.
"Eh, lebih tepatnya yang pakai celana, Gus. Yang beli bensin, kalau yang pakai gamis cuma nganterin." Saya cuma mengangguk sebagai respon, daripada dibilang saya terlalu cuek dan dingin.
Saya masih memperhatikan gadis di seberang sana, yang sepertinya sedang asik bercengkrama dan kadang tertawa karena ulah gadis yang pakai celana.
Kenapa hati saya menghangat waku gadis bergamis itu tertawa, ada apa dengan saya?
"Memangnya mereka siapa, Kang?" Ternyata jiwa penasaran saya terlalu besar.
"Setahu saya, yang pakai celana itu anak desa seberang, Gus. Kalau yang pakai gamis, saya kurang tahu, tapi saya ndak lihat mereka barengan setiap hari. Sepertinya, bukan orang seberang juga, Gus." Saya hanya mengangguk, yang jadi pertanyaan kenapa kalau gadis itu lewat saya tak pernah melihatnya.
Padahal seringkali sore selepas mengulang kitab saya keluar untuk sekedar mencari angin sore, atau sekedar duduk di depan pos keamanan.
"Kang Ali tahu dari mana?" Nah kan, saya kenapa jadi manusia kepo sekali.
"Saya pernah tanya waktu gadis yang pakai celana beli bensin di sini, Gus." Pantas saja kang Ali tahu, la wong pernah tanya.
"Gus Aziz, suka sama yang pakai gamis?" Saya menatap kang Ali sebelum akhirnya tersenyum dan menggeleng.
Bukan berarti tidak suka dan bukan berarti suka pula. Entahlah perasaan dan hati saya belum bisa dibaca.
"Ndak tahu, Kang."
*****
Tbc
Jangan lupa Tinggalkan jejak❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
Ficção Geral"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...